Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon

7 Februari 2021   08:59 Diperbarui: 7 Februari 2021   09:09 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Alhamdulillah! Ternyata pohon ini tumbuh dengan baik." Syukurku melihat pohon rambutan yang aku tanam bersama Ibu beberapa tahun silam, tumbuh dengan baik di tanah tak bertuan.

"Kenapa kamu menanam pohon rambutan ini disini. Padahal pekarangan rumahmu masih luas. Jangankan satu pohon rambutan ini. Seratus pohon rambutan juga masih cukup. Belum lagi, tempat ini kan sangat jauh dari rumahmu." Kata Metty, teman kuliah yang sering menemaniku.

"Pohon, tumbuhlah dengan baik disini. Aku akan selalu menyempatkan menyapamu dikala senggang." Mengabaikan pertanyaan Metty.

"Kamu ini ada-ada saja. Pohon diajak bicara. Ah sudahlah, ayo kita pulang." Pinta Metty.

"Baiklah."

Greng, greng, greng, suara motor trail aku geber, agar Metty segera naik, berbonceng di belakangku.

Sepanjang perjalanan dari ziarah pohon rambutan, sajian alam yang begitu indah terlihat dari ketinggian. Hijau dedaunan dari tunas-tunas bekas pohon ditebang, yang tumbuh liar memberikan nuasa kesegaran tersendiri bagi mata. Udara segar saat angin berlari berkejaran bak ombak dilautan semakin menambah kenikmatanku pulang dari ketinggian menuju dataran yang penuh sesak dengan orang dan perebutan kekuasaan demi kekayaan yang sebenarnya tak bisa dibawa pulang.

"Aku jadi penasaran. Kenapa kamu jauh-jauh menanam pohon rambutan di tempat itu. Padahal itu kan bekas hutan gundul yang sebagian sudah ditebang dan biarkan begitu saja."

"Memangnya kenapa kalau aku menanam pohon rambutan di atas sana. Nggak ada masalah kan!"

"Memang nggak masalah sih. Cuman aku heran saja. Kamu Tanam pohon rambutan disana. Padahal di rumahmu kan tanahnya masih luas."

"Coba itu liat, indah kan." Aku menghentikan motorku ditengah perjalanan hanya untuk sekedar melepas lelah tanganku menahan stang motor yang terus memberontak, seakan tak mau aku pegang. Maklumlah, jalan yang dilewati adalah jalan berbatu penuh lubang bekas truk mondar mandir seperti kebingungan megangkut gelonggongan kayu hutan.

"Wooooow. Indah sekali tempat ini. Kenapa aku tadi tidak melihatnya"

"Wajar lah. Kamu kan kalau bonceng selalu menghadap arah kanan." Sahutku

Sekali lagi, Metty mengagumi keindahan alam yang tersaji. Padang rumput hijau yang membentang dibatasi dengan pagar pohon-pohon besar, membuat tempat ini seperti surga tersembunyi. Tak terlihat dari luar, tapi akan sangat indah jika sudah di dalamnya, dan hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Atau tempat ini jadi salah satu alasan seperempat jalan menuju puncak telah diaspal.

Metty tak henti hentinya merasa takjub akan keindahan alam tersembunyi ini. Melihat ke padang rumput, kemudian menoleh sedikit ke arah kanan, ia menemukan sumber mata air dikerumuni beberapa binatang liar yang kehausan.

Metty kegirangan melihat tempat yang jarang sekali ia datangi. Dia hanya sibuk dengan kuliah-rumah dan lingkungan perkotaan yang ditumbuhi akar-akar besi beton bangunan gedung perkantoran. Ya meskipun dia bisa menikmati keindahan alam melalui dunia maya, tapi tetap saja rasanya akan sangat jauh berbeda ketika kaki menginjakkan kaki di alam nyata.

"Tuhan, apakah aku di surga untuk kedua kalinya." Teriak Metty tersenyum lebar.

" Lebih indah mana, tempat ini dengan yang tadi kita datangi. Tempatku menanam pohon rambutan?" tanyaku pada Metty.

Belum menjawab pertanyaanku, Metty memintaku bergegas turun dari motor. Sepertinya Dia ingin menikmati pemandangan indah bukan hanya dengan duduk memelukku di atas motor, tapi benar-benar menginjakkan kakinya di tanah keindahan.

"Kita duduk disini dulu ya. Aku ingin menikmati tempat ini dulu. Sebentar saja." Rengeknya padaku.

"Baiklah. Kita duduk saja dulu."

Berdua, aku dan Metty memilih duduk dan bersender  pada pohon yang usianya mungkin sudah 2 kali lipat dari usia kita berdua.

"oh ya, kamu Tanya apa tadi?"

"Aku Tanya, kamu lebih suka mana. Tempat ini atau yang tadi?"

"Sama-sama indah dan luar biasa keren. Tapi aku masih heran, kenapa kamu memilih tempat itu untuk menanam rambutan?"

"Eeeem, aku harus mulai dari mana ya.?" Diam sejenak, mengambil nafas dalam-dalam, menghirup kesegaran hutan setelah beberapa jam sebelumnya diguyur oleh hujan.

"Kamu tahu kan. Aku tinggal hanya dengan ayahku saja selama ini?"

"Iya tahu lah. Kan aku sering ke rumahmu."

"Kamu tahu kan kalau ibuku juga sudah mati?"

"Paham. Paham kok." Metty terdiam seperti seakan mencari jawaban antara pohon rambutan dan keluargaku.

"Kamu bingung kan." Sela ku ditengah-tengah Metty memikirkan hal yang sebenarnya tak pernah ia ketahui.

"Iya. Coba kamu jelaskan!" Ucapnya keluar dari bibir manisnya.

"Sebelum ibuku meninggal. Ibu terbiasa susur hutan. Maklumlah, dia adalah pecinta alam."

"Trus hubungannya antara ibu, pohon rambutan dan pecinta alam, apaan coba?"

"Gini loh Met. Entah tahun berapa aku lupa. Waktu itu...."

"Kalau nggak salah ketika pertengahan semester 1. Aku diajak ibu ke tempat tadi itu."

"Owh. Gitu. Berarti ibumu yang nanem pohon rambutan itu."

"Iya betul."

"Trus, kamu pernah tanya alasannya kenapa ibumu nanemnya disitu?"

"Nggak pernah."

"Loh gimana sih. Kamu nggak tahu alasan kenapa ibumu nanem pohon rambutan di tempat itu."

"Ya mau gimana lagi coba. Aku males menanyakan yang berkaitan dengan ibu. Bukan karena tak ingin tahu. Tapi karena begitu aku menghormati ibuku, jadi aku tak pernah tanya apapun tentang yang ibu lakukan atau hal lain yang juga bikin aku penasaran."

"Owh. Anak baik." Metty menepuk-nepeuk pundakku seakan ia sedang menggodaku.

" Eh iya. Kamu pernah lihat buku catatan harian ibumu nggak. Siapa tahu, dia mencatatnya disana, alasan dibalik nanem pohon rambutan itu."

"Belum pernah aku buka. Aku menaruhnya rapi dengan barang-barang ibu yang lain dalam satu lemari."

"Sayang sekali, kamu nggak tahu alasan dibalik pohon itu." Metty terlihat agak kecewa.

"Iya. Aku hanya tahu, kalau rindu ibu. Aku harus ke tempat itu. Itu merupakan peninggalan ibu satu-satunya, sebelum akhirnya ibuku meninggal dunia."

"Owwwh, cup-cup anak mama. Jangan sedih gitu dong. Besok-besok aku temenin lagi dah kesana." Sekali lagi dia menggodaku seperti ia sadar bahwa sebenarnya aku anak manja yang seringkali butuh perhatian dari seorang ibu, meskipun ibuku sudah tiada.

*

Metty, wanita yang aku kenal sejak semester 2. Sejak saat itu, aku dan Metty sering sekali bersama. Tak banyak tanya perihal keluarga dan masa lalu kita masing-masing. Kita berdua hanya menikmati kebersamaan saja, tidak lebih dari itu. Ia tak pernah menanyak perihal ibuku meninggal karena apa. Bisa jadi, karena dia ingin menjaga area privasiku.

"Met, kamu tahu nggak ibuku meninggal karena apa?"

 "Aku sebenarnya ingin tahu, tapi... aku tak mau masuk lebih dalam ke dalam kehidupanmu. Terutama tentang ibumu. Karena aku takut, jika tanya tentang keluargamu, kamu marah karena merasa bahwa pertanyaanku sudah terlampau berlebihan." Terdiam sejenak.

"Jika kamu mengenalkanku tentang keluargamu lebih jauh dari sekedar pertemanan ini, aku berterima kasih. Jika tidak, biarlah kita tetap seperti ini. Cukup saling kenal tanpa harus menceritakan kehidupan keluarga kita, ayah dan ibu, baik dimasa lalu atau kehidupan sekarang. Bagiku sudah cukup." Balas metty begitu panjang. Seakan-akan dia memberi kode keras bahwa hubungan yang kita jalani tak selamanya harus seperti ini, kalau bisa lebih dari sebelumnya.

"Baiklah. Aku akan menceritakan semua tentang keluargaku, terutama tentang ibuku."

Ibu, suka sekali mendaki. Berjalan menelusuri setip inchi tanah yang ditumbuhi rerumputan, dan melintasi semak belukar serta pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang seperti sedang menopang langit agar tidak runtuh.

Ibu juga menjadi bagian aktivis peduli lingkungan. Ia menjelajah satu tempat hingga ketempat lainnya hanya untuk mencatat, melihat flora dan fauna yang masih bisa diselamatkan olehnya dan teman-teman lainnya yang sama memiliki kecintaan akan lestarinya alam semesta. Hingga pada suatu hari, ibu dan rekan-rekannya menghadapi sebuah tantangan besar. Dimana tempat ini, yang laksana surga adalah bagian dari surga lain yang akan segera dibuka untuk pertambangan. Bahkan, tempat yang kita datangi tadi, tempat dimana ibu menanam pohon rambutan, juga menjadi bagian dari rencana pengerukan kekayaan alam secara legal oleh para pengusaha yang tak peduli lingkungan. Artinya, tempat ini akan jadi neraka bagi alam itu sendiri tapi akan menjadi surga bagi perusaknya.

Terlebih lagi, pemerintahan saat itu getol sekali untuk meloloskan undang-undang sapu jagat yang salah satu isinya membebaskan para pengusaha untuk membuka lahan tanpa harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya.

Sejak saat itulah, ditengah perjuangan para pecinta lingkungan, pecinta alam dan penjaga kelestarian menggagalkan undang-undang sapu jagat, sebagian pengusaha sudah mulai membuka jalan dan berusaha untuk membuka lahan. Salah satu buktinya adalah lereng disebarang pohon rambutan tadi, banyak pohon besar ditebang. Saat ini hanya tersisa tunas-tunas yang ingin tumbuh besar.

Jalan berlobang, berbatu juga adalah bukti bahwa tempat ini pernah dilewati para investor yang ingin merusak hutan dengan menambang kekayaannya dari dalam dengan dalih pembangunan. Padahal tujuan mereka sebenarnya untuk memperkaya diri mereka sendiri.

"Lantas hubungan dengan pohon rambutan?" Sela Metty ditengah-tengah aku menjelaskan.

Sejak dari kecil, ibuku suka sekali dengan rambutan, bahkan kakek dan nenek juga. Ayah pernah bercerita tentang keyakinan kakek dan nenek. Mereka berdua percaya bahwa pohon rambutan adalah pohon rakyat jelata. Pohon yang mudah ditanam, berbuah lebat dan bisa dinikmati oleh kalangan siapa saja. Ketika berbuah, dalam satu tangkai pohon rambutan berisi banyak buah. Itu menjadi simbol kebersamaan.

"Lantas bagaimana dengan pohon mangga, kelengkeng, dan buah lainnya yang mirip dengan pohon rambutan karakteristiknya ketika berbuah, buahnya ngumpul jadi satu dalam jumlah banyak?" Tanya Metty penasaran.

"Entahlah. Ayah tak pernah menjelaskan. Bisa jadi itu adalah keyakinan turun temurun yang cerita dan kebenarannya semakin lama semakin menghilang. Sama halnya dengan orang islam yang boleh makan daging sapi karena halal. Tapi bagi mereka penganut agama lain, sapi justru disucikan. Jadi kita tak perlu mempertanyakannya. Iya kan?" balasku pada Metty.

Ibu dan pendahulunya juga percaya bahwa pohon rambutan menjadi penangkal kejahatan. Maka dari itu, semenjak undang-undang sapu jagat berusaha diloloskan, beberapa hutan mulai dialih fungsikan, ibu menggunakan kepercayaannya untuk menggagalkan undang-undang itu. Caranya dengan menanam pohon rambutan dilahan yang akan digunakan pengusaha untuk pertambangan.

"Jadi hanya berdasarkan keyakinan saja ibu menanam pohon rambutan disana. Lalu manfaatnya apa coba? Bantah metty.

"Kamu coba bisa lihat sekelilingmu?"

Sambil memperhatikan Metty yang sedang asyik melihat keindahan alam sekitar, aku menjelaskan perlahan bahwa bukti dari keyakinan ibu akan pohon rambutan bisa dilihat sekarang ini. Pohon-pohon mulai tumbuh lagi, menghijaukan tanah surga yang menjadi rebutan penguasa dan investor . Andai saja ibu tak menanam pohon rambutan, bisa jadi kita dan orang lain bahkan anak cucu manusia tak bisa menikmati sebongkah surga yang masih tersisa di negeri ini.

Namun, keyakinan itu tentu bukan tanpa pamrih. Ibu meninggal dunia setelah 41 hari pohon itu ditanam. Menurut ayah, berapapun usia seseorang ketika mereka melakukan ritual untuk menjaga alam dengan pohon rambutan, maka ia harus berani mengorbankan jiwanya untuk pohon rambutan.

Itu terbukti, setelah 41 hari ditanam dengan mantra-mantra sapu jagat yang dibaca, ibu meninggal dan undang-udang sapu jagat dibatalkan keesokan hari.

"Lalu, ibumu?"

"Ya, disana. Seperti yang kamu kira. Ibu harus di kebumikan di bawah pohon rambutan, sebagai syarat wajib dari ritual sapu jagat. Artinya pohon rambutan itupun jadi nisan ibu."

"Bukannya undang-undang sapu jagat gagal karena demo besar-besaran dan presiden dimakzulkan oleh rakyat." Balas Metty.

"Bisa jadi sih. Bisa juga bukan karena itu. Karena mereka para wakil rakyat yang sekongkol untuk mengesahkan undang-undang, masih bercokol di gedung dewan." Ucapku, membela pengorbanan ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun