Episode Kedua
Kutengok jam yang melingkar di lengan kiriku, sudah menunjukkan Jam dua dini hari. Aku beranjak bangun dan membuka jendela kamar. Melihat cahaya rembulan yang begitu indah di mata. Menghisap dalam-dalam udara yang masuk ke rongga hidung. mendengarkan ocehan-ocehan para jangkrik dan katak-katak sawah yang hinggap di telinga. Hanya mereka yang kini setia menemaniku. Sampai larut malam, mataku tidak bisa tertutup rapat menikmati mimipi indah. Hah... Perasaanku masih kalang kabut. Rasa berdosa kini yang menyelimuti kesedihanku. Rasa berdosa kepada Tuhan juga kepada ibu karena berani membohonginya. Dan entah mengapa, perasaanku pada Amir seakan hadir kembali. Tak kunyana, buku yang sudah lama hilang itu telah membuka lembaran kenanganku dengannya. Kelopak mataku tak bisa lagi membendung debur air mata. Sebagai wanita, hatiku terlalu lemah untuk mengemban perasaan kalang kabut sedahsyat ini.
"Ya Allah, aku tahu aku telalu banyak melakukan dosa hingga Kau menghukumku dengan hukuman seberat ini. namun aku sadar,kau sangat kuasa untuk melenyapkan semua kegundahan di hatiku." jerit hatiku di bawah rembulan yang bersinar terang.
                                      ***
"Kenapa kamu, Us?" tegur kakak ketika melihatku merenung menatap ruang kosong. "tidakkah kamu bahagia atas pertunanganmu yang sudah dekat ini?"
"Eh, tau tidak Us, kata teman-teman Zultan berhasil memenangkan lomba tartil Quran tingkat Nasional. Dia hebat, ya." Aku tahu, kakak hanya berusaha menghiburku.
"Justru karena kehebatannya itu yang fikiranku seperti ini. Aku terlalu buruk untuk lelaki sebaik dia."
"Husy, jangan ngomong seperti itu, tidak baik."
"Kakak, ayah dan ibu sudah tau sendiri kan seperti apa aku yang sebenarnya. Bukankah menurut islam wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan wanita yang buruk juga untuk laki-laki yang buruk." kakak hanya terdiam mendengar argumenku. seakan-akan dia setuju kalau aku bukan wanita baik-baik.
***
Aku kira, semua gejolak di hatiku akan berpudar seiring dengan menggelindingnya waktu. Tapi tidak, ketenangan yang kuharap tidak kudapatkan samasekali. bahkan kegelisahan yang akhir-akhir ini mengelabui hatiku. Ya, hatiku gelisah karena ada beberapa faktor yang mengusiknya. Faktor yang paling dominan adalah karena aku masih belum bisa membuang rasa bersalahku pada ibu. Kurasa, aku telah resmi menjadi anak durhaka karena menyakiti perasaan beliau, membuat beliau menangis karena ulahku yang melanggar undang-undang keluarga besarku. Walaupun sikap beliau tidaklah berubah, tapi tetap saja aku merasakan kekecewaan di balik setiap senyumnya. Dan juga aku tidak bisa memungkiri bahwa Amir seakan datang bersahaja kembali ke dalam hatiku. Oh Tuhan, apa lagi ini.