Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Nanti akan aku tanyakan sendiri kepada Kakakku. Pikirku dalam hati. Pipiku memerah seperti tomat.
Kak Seno terkekeh menatapku, dan aku semakin malu-malu.
Ia bahkan menata buku-buku tadi ke dalam rak sesuai tempatnya. Aku masih bergeming memperhatikan punggungnya yang kokoh. Tinggi seperti tiang listrik.
Aku sudah menghayal setelah ini. Kami bisa menghabiskan waktu berdua sampai bel kelas berbunyi. Kedua tangan menutup mata. Wajah Kak Seno semakin dekat.
"Hai, matamu kenapa Dea?"
"Nggak papa, Kak. Cuma sedikit perih tadi kena debu," jawabku lirih, terdengar manja.
Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Aku segera menggeser posisi tubuh lebih jauh darinya.
"Sen, kamu dipanggil Pak Vero di ruang kelas."
"Oke, Leo. Sebentar lagi aku ke sana."Â
Rupanya dia Leo, teman sekelas Kak Seno. Ia pamit kepadaku sebelum pergi bersamanya. Aku mendesis, belum sempat bertanya nomor teleponnya.
Setelah pulang aku mencari informasi tentang Kak Seno lewat kakakku sendiri. Dengan mudahnya mendapatkan nomor ponselnya.