Hasrat cinta ini melambung tinggi, bunga bermekaran ketika berhadapan dengannya. Kagum dengan suara lembut, saat kakak kelasku tampil bernyanyi di lapangan sekolah. Membuat gadis-gadis lain terpukau, termasuk aku yang sudah lama menaruh rasa.
Akan tetapi, hingga kini aku belum pernah mengatakannya. Seto Wardhana, nama panggilan kakak kelasku itu. Perbedaan warna kulit yang membuatku canggung berada di sampingnya. Dibandingkan denganku jauh sekali. Warna kulitku sama dengan yang sering mengambang di sungai. Kak Seto bagaikan awan bersih di langit biru. Dia susah untuk ku gapai.
Namun, hari ini. Saat aku tengah membawa tumpukan buku, dia datang menawarkan bantuan.
"Sini biar kakak bantuin."Â
Aku ragu untuk menolak, buku yang aku pegang sudah beralih ke tangannya. Jarak kami terlalu dekat, aku bisa menghirup aroma parfum pakaiannya yang wangi. Mata kami bertemu, lekas ku alihkan pandangan ke arah lain.
Kak Seno bertanya, "Namamu, Dea 'kan."
Aku terperangah ketika Kak Seno tahu namaku. Sedangkan, aku belum pernah mengenalkan diri padanya. Aku tahu namanya karena dia sering tampil di acara pentas di sekolah, seperti acara perpisahan, ulang tahun sekolah dan perayaan hari raya Natal dan tahun baru.
"Kak Seno tahu namaku dari mana?"
"Dea, jelas aku tahu namamu. Kamu adiknya Rian, bukan? Rian teman SD kakak dulu. Kakak nggak nyangka kamu sekolah SMA di sini. Waktu acara MOS kamu pulang sekolah diantar Rian. Nah, dari situ Kak Seno baru sadar itu kamu."
"Hehe, gitu yah Kak."
Jeda
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Nanti akan aku tanyakan sendiri kepada Kakakku. Pikirku dalam hati. Pipiku memerah seperti tomat.
Kak Seno terkekeh menatapku, dan aku semakin malu-malu.
Ia bahkan menata buku-buku tadi ke dalam rak sesuai tempatnya. Aku masih bergeming memperhatikan punggungnya yang kokoh. Tinggi seperti tiang listrik.
Aku sudah menghayal setelah ini. Kami bisa menghabiskan waktu berdua sampai bel kelas berbunyi. Kedua tangan menutup mata. Wajah Kak Seno semakin dekat.
"Hai, matamu kenapa Dea?"
"Nggak papa, Kak. Cuma sedikit perih tadi kena debu," jawabku lirih, terdengar manja.
Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Aku segera menggeser posisi tubuh lebih jauh darinya.
"Sen, kamu dipanggil Pak Vero di ruang kelas."
"Oke, Leo. Sebentar lagi aku ke sana."Â
Rupanya dia Leo, teman sekelas Kak Seno. Ia pamit kepadaku sebelum pergi bersamanya. Aku mendesis, belum sempat bertanya nomor teleponnya.
Setelah pulang aku mencari informasi tentang Kak Seno lewat kakakku sendiri. Dengan mudahnya mendapatkan nomor ponselnya.
"Jangan genit-genit kamu sama Seno, Dea! Dia itu playboy tahu!"
Kakakku memberi nasehat. Menekan agar aku tidak berharap terlalu jauh. Kakakku takut aku akan patah hati. Kusampingkan perkataannya, tak peduli Kak Seno playboy atau apa. Aku tetap suka dan kagum kepadanya.
Pertama kali aku menghubunginya. Tanggapan Kak Seno begitu ramah, cepat sekali membalas pesan dariku. Aku yakin sekali waktunya hanya untukku. Kak Seno pasti masih jomblo buktinya pesanku tidak pernah terlewatkan.
Aku membuat keputusan Minggu depan akan menunggunya di parkiran.Â
Tepat pukul 2 siang, aku sembunyi di pagar sebelah kantin sekolah. Menunggu kehadiran Kak Seno yang sekarang sudah di depan mata. Dia berdiri di samping motornya. Aku menyusul dari arah belakang.
"Kak Seno!"
"Dea, kamu di sini?"
"Kak, boleh nggak Dea numpang sampai ke rumah."
"Loh, bukannya kamu pulang dijemput sama Rian."
"Kak Rian sibuk, katanya mau latihan basket."
Kak Seno tengah berpikir. Aku memohon.
"Kak, plis anteran Dea pulang. Kak Seni nggak kasihan sama Dea."
"Maaf Dea, Kak Seno mau pulang dengan dia," Kak Seno menunjuk gadis lain. Dia Kak Mawar kakak kelas jurusan IPA yang terkenal cantik dan pintar
Yang ditunjuk langkahnya semakin dekat. Aku mundur. Dadaku sesak, remuk berkeping-keping. Menghadapi kenyataan bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan.
Tapi, aku tetap memaksa untuk menumpang. Meskipun harus menunggu Kak Seno mengantarkan Kak Mawar terlebih dahulu. Aku akan bersabar. Dan, menunggu seperti cintaku ini.
"Serius kamu, Dea. Mau di sini nungguin Kakak."
"Iya, Kak. Dea serius. Kakak 'kan tahu, nggak ada angkot yang menuju ke rumah Dea, di Perumahan Modern."
"Sen, kasihan juga kalau Dea ditinggal sendirian gini. Mendingan aku pulang minta jemputan yang lain deh."
Gadis itu pergi, Kak Seno menggaruk kepalanya. Meskipun begitu, gaya rambutnya masih saja terlihat rapi. Aku tersenyum puas.Â
Sekali ini aku bisa memeluk Kak Seno dari belakang. Tak ada penolakan. Ini baru awal, aku belum memenangkan hatinya. Tunggu satu atau dua bulan lagi. Kak Seno akan membalas renjana cinta tersembunyiku ini. Secara terang-terangan dialah yang akan lebih dulu mengatakannya.
Tunggu saja tanggal mainnya.
***
Pemalang, 12 Nopember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H