Part 13. Gosip dan Fitnah
Malam semakin larut namun Keti masih terus memikirkan ucapan sang Ibu. Kenapa baru sekarang dia tahu? Kenapa tidak dari dulu sebelum Keti menggali kebencian sedalam sumur kepada sang Bapak. Ibunya benar dia selalu semangat menjalani kehidupan. Seperti harapan nama yang selalu dia bawa dari lahir.
Jika Keti tengah sendirian, Perpustakaan sebagai tempat pelarian. Dengan melewatkan sepanjang hari dengan lembaran Novel remaja. Ia akan kembali tersenyum.
Tanpa sepengetahuannya, Deva muncul dari balik pintu melangkah pelan mendekati Keti.
"Ket, ngapain kamu di sini? Sendirian saja. Nggak bareng Mila."
"Hmm... , bukan urusan kamu."
Zzzztt...Â
Deva menarik novel yang berada di tangannya. Membaca keras judul novel.
"Perempuan Misterius."
Keti kesal dengan Deva. Pria itu selalu membuat ulah. Keti kembali meraih novel yang dibacanya dari telapak tangan Deva. Akan tetapi pegangan tangan Deva terlalu kuat. Hingga pada akhirnya wajah mereka saling bertabrakan dalam jarak sejengkal. Deva pun tertawa melihat wajah masam sang gadis.
"Ket, aku tahu kamu sedang sembunyi di sini. Jangan begini Ket! Hadapi! Lawan rasa minder-mu."
Deva sosok kawan yang peduli. Keti mendengarkan lawan bicaranya yang penuh nasehat tanpa jeda.
"Kamu itu smart, jika kamu percaya dengan kemampuan-mu. Tunjukkan kemampuan mu itu, Ket. Kamu pasti bisa membuktikan kepada yang lain. Aku akui meskipun namamu memang lucu, eh... , maksudku namamu itu sebenarnya unik dan dimataku kamu gadis yang spesial."
"Spesial untuk kamu ejek! Ya, kan?!" Keti menjawab dengan gusar.Â
Deva menepuk bahunya mencoba meyakinkan sekali lagi.
"Sayangnya kamu gadis jutek dan keras kepala. Jika kamu tahu, Ket. Banyak yang ingin bersahabat dengan mu."
"Oh... , yah. Kamu pembual hebat, Dev. Memangnya siapa yang mau jadi sahabatku selain Mila?"
"Aku."
Mendengar ucapan Deva gadis itu tetap tidak percaya. Keti selalu berpikir semua pria pembohong dan menyebalkan. Walaupun sebenarnya dia senang karena Deva-lah yang selalu ada untuknya. Tetap saja Keti sulit menerima pengakuan Deva yang ingin menjadi sahabatnya.
Ruangan perpustakaan menjadi sangat sunyi ketika mereka tenggelam dalam pemikirannya masing-masing. Dan, bel masuk berbunyi nyaring. Keti masuk ke dalam kelas bersama Deva yang mengikutinya dari arah belakang.
**
Satu Bulan Keti mengikuti kegiatan ekskul basket, dengan Tim Deva sebagai kapten basket. Deva seringkali mengajari Keti cara mendrible bola dan melempar bola ke dalam ring.Â
Kegiatan Ekstrakurikuler Basket membuat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Deva tak lupa mengantarkan Keti pulang dengan sepeda balap yang sering dia kenakan. Keti berdiri di tepi roda yang terpasang besi.
Pernah sekali gadis itu datang terlambat. Berburu waktu disela kesempatan. Tetapi kegiatan ekskul hampir usai. Keti melihat dari sudut lapangan mencari Deva. Kemudian sebuah bola mendarat ke arah Keti siap mengenai wajahnya. Dan, hampir saja mencium pipi sebelah kanannya. Lalu, Deva sigap melindungi. Deva berdiri di hadapan Keti. Bola mendarat tepat di kepala Deva. Mereka terjatuh bersama.Â
Pria itu justru bertanya, "Kamu nggak papa kan, Ket."
Bodoh, bukankah bola itu yang mengenainya. 'Seharusnya aku yang mengatakan itu.' Pikir Keti. Pria berkulit cokelat di hadapannya justru sangat kuatir dengan keadaan Keti.
**
Malam minggu sengaja Deva datang menemui Keti untuk mengajaknya ke rumah Yogi dengan menaiki sepeda berdua. Melewati Jalan kota yang sangat ramai, banyak para muda-mudi berpasangan menikmati malam dan duduk di tepi jalan.
Sepeda Deva menuju alun-alun Kota untuk lebih dekat ke rumah kawannya. Mereka berdua memasuki gang kecil, ada deretan rumah sederhana di sepanjang jalan. Belok ke arah kiri, Yogi sudah menanti Deva dan Keti di halaman rumahnya. Sesekali memetik gitar menyanyikan lagu Peterpan yang berjudul, Tentang Kita.
Ternyata Sapto juga ikut mampir. Keti merasa malu karena ia hanya perempuan sendiri. "Tak apa-apa," bisik Deva.
Di rumah Yogi mereka tengah menikmati malam dengan lagu-lagu sederhana lewat iringan nada gitar yang membahana. Mereka berempat hanya tenggelam dalam nyanyian dan suasana bertajuk bintang di atas langit.
**
"Ket, kelas dua kamu mau masuk jurusan apa?" Tanya Mila tiba-tiba.
Pada saat kelas sepi esok harinya.
"IPA, kamu?"
"Masuk IPS aja bareng aku yah."
Keti berpikir sejenak. Bagaimana mengatakan pada Mila? Agar dia mengerti kalau Keti ingin masuk ke jurusan IPA karena mengagumi guru fisika.
"Maaf, Mil. Aku nggak minat masuk jurusan IPS."
"Ket, kalau kamu masuk IPS kan kita bisa duduk satu bangku lagi. Sekelas bareng lagi. Memangnya kamu nggak mau kayak gini," bujuk Mila dengan mengapit jemarinya.
"Aku tetep masuk IPA, Mil. Sorry. tetapi tenang saja Mil sampai kapanpun aku tetap menjadi teman baikmu."
Kemudian suara kelas ramai oleh banyaknya siswa yang berhambur masuk ke dalam. Percakapan Keti dan Mila terpaksa dihentikan pada waktu yang sama.
**
Tahun ajaran baru, Keti sudah berada di kelas dua. Masuk ke jurusan IPA. Duduk sebangku dengan teman berambut keriting bernama Hana.
Meninggalkan Deva dan Mila yang masuk ke jurusan IPS. Sedangkan Yogi teman dekat Deva satu kelas dengan Keti.
Hubungan Keti dengan Deva sedikit merenggang karena jarang bertegur sapa. Hanya Yogi yang menemani gadis itu saja dan dia mengenalkan kawannya yang bernama Putra.Â
Awalnya Keti begitu senang dengan kehadiran Putra. Entahlah, masalah kesalahpahaman pun tak khayal terjadi begitu saja.
Di ruang BP. Keti, Mila, Eca, Yogi dan Deva dikumpulkan jadi satu. Mila menangis tersedu-sedu. Keti bingung ikut bergabung meskipun belum jelas duduk permasalahannya.
"Jadi, siapa yang menyebarkan gosip Mila lesbian?" Pak Dika sebagai wali kelas Keti membuka percakapan.
 Keti tercekat saat mendengar ucapan Pak Dika. Tak percaya. Tanpa dia sadari masalah ini membuat matanya berair. Iyah, Keti mengenal pribadi Mila dengan baik. Deva juga ikut membela, jika Mila bukan wanita seperti gosip yang tersebar luas.
Namun, tatapan Eca sinis kepada Keti bahkan dari sudut matanya tak tampak bulir air mata. Apakah dia penyebab dari masalah ini? Namun, apa motifnya dia sampai tega menyebarkan fitnah. Keti pun menduga-duga.
"Aku, tahu siapa orang menyebarkan gosip itu Pak?" Kata Eca menyela sidang.
"Siapa?" Tanya Pak Dika dan Deva berbarengan.
Telunjuk Eca mengarah ke arah Keti. Sampai hati, dia menuduh Suketi. Menuduhnya sebagai dalang dari permasalahan ini.
"Mil, sumpah bukan aku," Keti segera membela diri.
Mila terdiam, Guru Bp sekaligus wali kelasnya pun tidak percaya dengan tuduhan Eca, termasuk Deva.
Masalah belum usai. Hingga saat sidang berakhir mereka masuk ke kelas masing-masing. Seluruh teman menjauhi Keti. Mereka menghujat Keti pandai bermain drama. Sok polos, entahlah apalagi yang jelas tak ada yang peduli lagi dengan gadis itu. Sebelum Keti mengatakan apapun.Â
Keadaan ini membuatnya ingat akan masa lalu. Dia bagaikan rumput liar berada di dalam kelas. Kehadirannya mulai tak dianggap oleh siapapun kecuali Putra dan Yogi.
Keti butuh kehadiran Pria berkulit coklat. Hanya Deva yang bisa mengubah suasana hati pada gadis berikat satu.
Sekarang ataupun nanti yang jelas Keti selalu mengharapkan dialah satu-satunya sahabat yang tak pernah pergi meninggalkannya.
..
Dengan penuh perhatian Deva berkata, "Aku yakin ada yang ingin menjatuhkanmu, Ket. Kamu tenang saja aku akan cari siapa yang memulai gara-gara. Akan ku buktikan bahwa semua ini bukanlah kesalahan mu."
"Makasih Dev."
Keti menangis di bangku belakang dengan menyandarkan kepalanya ke dinding. Kelas riuh karena guru kimia belum juga masuk kelas.
Karena ini bukan kelasnya Deva memilih pergi. Dan, memberi isyarat kepada Putra.
"Temani dia."
Putra menunggu Keti berhenti menangis kemudian memberinya tisu.
Eca serasa menyindir Keti, "Jangan pura-pura bersedih. Luarnya ja sok polos, katanya temen deket pas di belakang menusuk."
Putra menyingkirkan Eca dari hadapan Suketi. Suasana hati Keti sangat kacau. Eca datang membawa keributan.Â
Keti berkata, "Aku salah apa sih sama kamu, Ca? Demi Allah aku bukan orang seperti yang kamu katakan."
Saat pertengkaran terjadi teman sebangkunya bernama Hana sedang absen karena sakit. Deva pun berada di kelas IPS. Putra yang memisahkan meskipun tanpa perlawanan. Dia hanya diam saja.Â
"Jangan bawa-bawa nama Allah, deh! Kalau hatinya sudah kotor selamanya seperti itu. Memang gak ada yang tahu, kamu itu orangnya cuma pura-pura sok baik, sok suci. Berhenti membela diri, Ket. Percuma orang lain tidak akan percaya lagi."
Ucapan Eca sangat menyakiti hati Suketi, sampai dia berkata dalam hatinya sendiri. Suatu saat apa yang Eca katakan kembali ke dirinya sendiri.
Keti kembali duduk dan mengusap air matanya yang mengalir deras.Â
Guru yang mengajar di sebelah kelas lain menyembul di balik pintu dan menegur.
"Jangan berisik sedang ada ulangan!"
Eca kembali ke mejanya. Seraya menyunggingkan senyum. Dia berhasil membuat Suketi menangis pilu.Â
***
Pemalang, 6 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H