Kata orang cinta akan membawa kita dalam kebahagiaan namun pada kenyataannya tidak demikian. Aku berharap lebih kepada kekasih yang telah membersamai-ku -- selama lima tahun dan memutuskan hubungan ini tanpa sebab.
Aku menerima undangan pernikahan darimu, hatiku perlahan remuk berkeping-keping. Kurasakan tiada guna aku hidup di dunia ini. Langkah telapak kaki terseok tanpa arah seketika dari arah lain mobil BMW berwarna putih siap menerjang.
Ada yang menarik lenganku dan aku terjungkal di tepi jalan, dalam pelukan lelaki asing tanpa dikenal.
"Lepaskan, untuk apa kamu membantuku. Seharusnya biarkan saja aku mati, untuk apalagi aku hidup di dunia ini," ucapku penuh emosi.
Aku terisak tanpa daya, dia pun menegaskan bahwa dia hadir sekadar membantu.
"Kamu terlalu konyol, jika bunuh diri. Hidup ini indah setiap bersama orang yang kita cintai," tutur dia menatapku tanpa berkedip.
"Kamu salah, kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Cinta itu busit, omong kosong," amarahku makin membuncah.
Dia terus membujukku dan membawa ke tempat lain. Segelas air putih hangat ku teguk pelan, aku berbaring di sofa panjang. Tubuhku lelah dan makin ringkih. Mataku sembap karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Bodohnya aku mau di ajak ke sini hanya dengan memandang guratan wajah-- sudah terpancar kebaikan. Aku langsung percaya begitu saja.
Entah, apa yang terjadi kepadaku? Ketika tersadar dari tidur yang panjang, diriku menatap heran kepada lelaki asing yang masih menutup mata, mendekap kedua lengan berada di sampingku. Aku pun mengguncang pundaknya.
"Kamu siapa? Aku sedang berada di mana?"Â
Kedua bola mata memutar ke sekeliling ruangan.Â
Aku berada di gedung apartemen yang sangat tinggi, tampak dari jendela terbuka tirai di situ banyak sekali kabel bergelantungan juga burung-burung beterbangan.
"Namaku Pras, kamu tidak perlu takut. Aku tidak akan menyakitimu. Boleh aku tahu siapa namamu?"
Pras, dia lelaki yang telah menolongku tadi siang. Aku baru mengingatnya. Kini hari sudah senja dengan mendung bergelayut. Aku tersipu malu menatap balik kedua bola mata itu.
"Vika, terima kasih Pras. Aku ingin pulang, tolong antarkan aku pulang," ucapku memohon.
"Aku akan mengantarkan kamu pulang tetapi tidak sekarang, besok saja. Sebentar lagi akan hujan, menginaplah di sini barang semalam."
Tak ada penolakan dari bibir tipis ini, seperti terhipnotis oleh ketampanan dan kebaikan yang dia miliki. Aku sampai membandingkan Pras dengan sang mantan melalui fisik dan materi, bisa dibilang seratus persen Pras lelaki paket komplet.
Dia menepati janji, mengantarkan aku pulang besok harinya-- dengan mobil sedan menuju perumahan Mekar Baru ke tempat tinggal Mamah yang baru dibangun.
Hanya hari itu terakhir kali aku bertemu dengan Pras. Entah, apa yang membuatku rindu setelah kepergiannya.
Pras, lelaki yang berhasil menghapus luka dalam hati. Ketika tersakiti oleh mantan kekasih. Dia juga membuat aku jatuh cinta lagi yang kedua kali. Namun, aku berhasil menutupinya. Aku tak ingin terluka. Sungguh aku tak ingin terluka karena jatuh cinta dengan orang yang salah.Â
Setahun berlalu aku sudah tak lagi mendengar kabar Pras, tiba-tiba dia datang bersama papahnya dan juga mamahku.
"Vika, kamu harus akur yah dengan kakakmu ini," kata Mamah ketika kembali dari luar negeri.Â
Mamah menikah lagi tanpa sepengetahuanku. Aku tahu mamah berhak bahagia, tetapi tidak begini caranya. Diam-diam menikah tanpa persetujuan anaknya.
Saat mata kami bertemu, Pras mengatupkan bibir dan menelan ludah yang ingin dimuntahkan. Kaget, tentu saja. Apalagi aku. Pertemuan yang seharusnya membawa kebahagiaan justru membuat kami tegang sepanjang malam. Kami tinggal dalam satu atap bukan dalam status pasangan namun sebagai saudara tiri.
"Hai, gimana kabarmu Vik?" Kata Pras duduk menghampiriku ketika Mamah dan Om Pram masuk ke dalam kamar.
"Ba-ik," jawabanku gugup tak beraturan.
Detak jantungku berdegup kencang, tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Aku baru tahu Pras adalah anak Om Pram yang kukenal dahulu sebagai rekan bisnis Mamah di kantor cabang.
"Kamu sehat kan," Pras beraninya mengusap kening dengan telapak tangannya.Â
Aku mundur, ingin berdiri dan menghindarinya. Dia berhasil memegang ujung tangan saat ingin kuhempaskan pegangannya justru makin kuat. Aku kembali duduk di sampingnya.
"Jangan salah paham!" Dia melepaskan pegangannya ketika aku menatap bola mata biru itu.
Seketika air mata ini keluar, dadaku begitu sesak menghadapi takdir, aku menangis terisak.
"Aku kangen kamu, Pras_" suaraku tercekat dan membatin mengapa aku harus memiliki rasa cinta kepadamu Pras.Â
Rindu ini begitu menyiksaku, makin sakit tak bisa memilikimu, bagaimana caranya menyimpan rasa ini jika setiap hari kita bertemu.Â
Mamah keluar mendengar tangisanku, "Vika mengapa, Pras?"
"Vika sangat senang karena Tante pulang," ujar Pras bohong.Â
Mamahku selalu sibuk dengan urusannya, jika dia orang tua yang baik tentu akan meminta maaf. Tetapi sepertinya, Mamah enggan mengurus permasalahan kecil. Aku memahami Mamah, sayang mamah tak pernah mengerti dengan perasaanku.
Aku masih saja diam, Mamah berlalu menuju dapur kembali lagi membawa minuman air putih yang kukira untukku. Mamah meneguk air itu tanpa sisa. Aku makin kesal.
"Mamah juga seneng bisa melihat anak mamah sehat-sehat saja, Mamah percaya anak mamah sudah dewasa bisa hidup mandiri tanpa mamah di sini. Bukan begitu, Vika."
Pras mengacak rambutku, sengaja. "Tante, sepertinya papah manggil deh."
"Oke. Pras, Tante ingin mulai sekarang kamu panggil Tante dengan sebutan Mamah. Kamu juga Vika panggil Om Pram papah juga ya."
Aku hendak menggeleng, Pras mulai usil membuat kepala ini mengangguk melalui telapak tangannya dari belakang. Aku pun menginjak kakinya membuat Pras sedikit bergumam, "Aauw .... "
Mamah sudah pergi, Pras ingin membalas-- aku menghindar. Tertawa terbahak-bahak, "Syukurin, makanya jangan mulai duluan," kataku penuh kemenangan.
"Aku senang melihatmu tertawa, Vik. Eh, adikku yang cantik." Pras mencubit pipiku.
Hatiku kembali berdesir, dia mulai lagi membuatku tersenyum. Bisakah bukan menjadi adikmu saja Pras, aku terus merajuk tanpa Pras tahu. Benar, aku menginginkan lebih. Seandainya itu bisa aku akan berusaha melakukannya. Sekarang. Saat wajah kami saling berdekatan, napas kami saling bertabrakan, tangannya yang terus saja membelai rambutku hingga berantakan.Â
Terombang-ambing bagaikan menaiki perahu bersamamu hanya untuk menepi. Itu saja, itu saja sudah cukup berarti.
"Ada apa denganmu, Vika? mengapa berhenti tertawa, apa kakak salah bicara?"Â
Pras membuyarkan lamunanku, "Aku hanya senang bisa bertemu lagi denganmu."
"Kakak juga senang Vik, kita bisa menjadi saudara tiri. Menjagamu dari lelaki bejat mana pun yang akan menyakitimu."
Aku tersentak, tidak ada lelaki lain, Pras. Kamu mungkin bukan lelaki bejat. Kamu sanggup membuatku tersenyum kembali, kamu juga berhasil menyakiti perasaanku ini. Tetapi bagaimana aku meminta bantuan kepadamu? Jika orangnya sendiri adalah kamu.
"Makasih, Kak."Â
Rasa terima kasih atas semua yang pernah kamu lakukan sekarang ini. Aku terluka.Â
"Vik, boleh aku berkata jujur padamu." Pras membuatku makin ingin memukulnya. Lihat saja betapa serius tatapan matanya ketika memandangku sedekat ini.
"Katakanlah, lima menit saja aku mengantuk," ucapku ketus karena memang ingin cepat-cepat menghindarinya.
"Kakak rindu memelukmu, seperti waktu itu."
Pras langsung mendekapku erat. Sebenarnya aku menikmati setiap dekapannya. Hanya saja, hanya saja pelukan pria yang kucintai saat ini. Tidak dapat kumiliki seutuhnya.Â
Oh, Tuhan. Bagaimana aku menghadapi ini? Dia lelaki yang kucintai sekarang telah menjadi saudara tiriku.Â
Aku jadi terngiang ucapannya waktu pertama kali Pras menolongku. Dia bilang padaku, jika bersama orang yang kita cinta akan bahagia. Buktinya aku tinggal bersama orang yang aku cintai justru makin tersiksa.
***
Pemalang, 6 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H