Setahun berlalu aku sudah tak lagi mendengar kabar Pras, tiba-tiba dia datang bersama papahnya dan juga mamahku.
"Vika, kamu harus akur yah dengan kakakmu ini," kata Mamah ketika kembali dari luar negeri.Â
Mamah menikah lagi tanpa sepengetahuanku. Aku tahu mamah berhak bahagia, tetapi tidak begini caranya. Diam-diam menikah tanpa persetujuan anaknya.
Saat mata kami bertemu, Pras mengatupkan bibir dan menelan ludah yang ingin dimuntahkan. Kaget, tentu saja. Apalagi aku. Pertemuan yang seharusnya membawa kebahagiaan justru membuat kami tegang sepanjang malam. Kami tinggal dalam satu atap bukan dalam status pasangan namun sebagai saudara tiri.
"Hai, gimana kabarmu Vik?" Kata Pras duduk menghampiriku ketika Mamah dan Om Pram masuk ke dalam kamar.
"Ba-ik," jawabanku gugup tak beraturan.
Detak jantungku berdegup kencang, tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Aku baru tahu Pras adalah anak Om Pram yang kukenal dahulu sebagai rekan bisnis Mamah di kantor cabang.
"Kamu sehat kan," Pras beraninya mengusap kening dengan telapak tangannya.Â
Aku mundur, ingin berdiri dan menghindarinya. Dia berhasil memegang ujung tangan saat ingin kuhempaskan pegangannya justru makin kuat. Aku kembali duduk di sampingnya.
"Jangan salah paham!" Dia melepaskan pegangannya ketika aku menatap bola mata biru itu.
Seketika air mata ini keluar, dadaku begitu sesak menghadapi takdir, aku menangis terisak.