"Aku senang melihatmu tertawa, Vik. Eh, adikku yang cantik." Pras mencubit pipiku.
Hatiku kembali berdesir, dia mulai lagi membuatku tersenyum. Bisakah bukan menjadi adikmu saja Pras, aku terus merajuk tanpa Pras tahu. Benar, aku menginginkan lebih. Seandainya itu bisa aku akan berusaha melakukannya. Sekarang. Saat wajah kami saling berdekatan, napas kami saling bertabrakan, tangannya yang terus saja membelai rambutku hingga berantakan.Â
Terombang-ambing bagaikan menaiki perahu bersamamu hanya untuk menepi. Itu saja, itu saja sudah cukup berarti.
"Ada apa denganmu, Vika? mengapa berhenti tertawa, apa kakak salah bicara?"Â
Pras membuyarkan lamunanku, "Aku hanya senang bisa bertemu lagi denganmu."
"Kakak juga senang Vik, kita bisa menjadi saudara tiri. Menjagamu dari lelaki bejat mana pun yang akan menyakitimu."
Aku tersentak, tidak ada lelaki lain, Pras. Kamu mungkin bukan lelaki bejat. Kamu sanggup membuatku tersenyum kembali, kamu juga berhasil menyakiti perasaanku ini. Tetapi bagaimana aku meminta bantuan kepadamu? Jika orangnya sendiri adalah kamu.
"Makasih, Kak."Â
Rasa terima kasih atas semua yang pernah kamu lakukan sekarang ini. Aku terluka.Â
"Vik, boleh aku berkata jujur padamu." Pras membuatku makin ingin memukulnya. Lihat saja betapa serius tatapan matanya ketika memandangku sedekat ini.
"Katakanlah, lima menit saja aku mengantuk," ucapku ketus karena memang ingin cepat-cepat menghindarinya.