Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bukan Pemilik Ikan

16 Januari 2022   11:31 Diperbarui: 16 Januari 2022   11:36 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Deburan ombak mengeluarkan nada gemericik air. Mengantarkan sekumpulan ikan, terjerat di jaring para nelayan.

"Alhamdulillah, sudah penuh." Ucap Wahyono ketika mengetahui jaring tangkapannya dipenuhi ikan.

Ia sudah membayangkan akan mendapatkan keuntungan berjibun. Wahyono menjajakan barang dagangan di sebuah kongsi bersama nelayan lain, sambil bersiul menantikan pelanggan.

Tak lama muncul seorang pria tambun berpakaian rapi mendatangi kios Pak Wahyono. Menanyakan apakah ada ikan segar yang bisa dibawa pulang. Lalu Wahyono menunjukkan beberapa jenis ikan tangkapannya di dalam wadah ember bekas cat.

"Saya ingin memborong semua ikan ini," ujarnya.

Dengan tatapan tegas saudagar kaya berkata, dengan kening mengkerut Wahyono tak percaya. Ia begitu girang mendengarnya. Kembali tanpa tangan kosong, istrinya akan menyambut dengan wajah berseri-seri. Pada kenyataannya tak sesuai harapan. Penghasilan yang diperoleh tak sesuai dengan jumlah ikan yang didapatkan.

Yang seharusnya harga per kilo 30 ribu, saudagar kaya itu hanya membayar setengahnya.  Raut wajah Wahyono tampak sedih ketika saudagar kaya itu memberikan tumpukan uang. Serta merebut paksa ikan tangkapannya dengan dibantu kedua suruhannya yang berbadan kekar.

Saudagar kaya itu bernama, Sultan Thamrin. Memiliki empat orang anak serta dikenal sebagai orang terpandang di pantai Menganti. Yang memiliki sepuluh perahu untuk disewakan para nelayan yang mencari mata pencaharian.

Orangnya terkenal keras dan suka menindas rakyat kecil demi keuntungan pribadi. 

Di dalam sebuah rumah mewah berdinding keramik, Sultan Thamrin memberi perintah asisten dapur untuk mengolah satu ikan pilihannya dari beberapa ikan yang sudah terjual.

Waktunya Sultan Thamrin untuk melepas penat, bersandar di dalam sofa bersama istri tercinta. 

Tiba-tiba dari arah dapur asistennya memanggil-manggil.

"Pak lihat ini. Kepala ikan ini sangat keras, dengan pisau tajam pun masih sulit dipotong."

"Yang bener saja, Bi."

Sultan Thamrin tak percaya, sebelum melihat dan mencobanya sendiri. Sang Istri ikut mendekat. Dengan sigap mengambil pisau tajam meraih ikan kemudian meletakkannya di atas papan penggilas. 

"Pah, beneran susah."

Sekalipun pisau yang tajam kepala ikan tersebut tak bisa dipisahkan dari tubuhnya. Sultan Thamrin sangat kesal melihat hal itu. Lalu menghubungi koki andalan yang sudah dipercaya. Ditangan si koki apapun jenis olahan akan menjadi masakan terenak. Soal potong memotong tak bisa diragukan lagi.

Proses memasak ditunda dua puluh menit, si koki telah sampai di kediaman Sultan Thamrin.

Saat si koki andal ingin menunjukkan keterampilannya. Akan tetapi yang terjadi sungguh memalukan. Kepala ikan tetap utuh, pisau tajam yang dipegang terpeleset ke lantai. Sultan Thamrin menunjukkan gigi. Rahangnya mengeras dengan perut buncit setengah menahan lapar.

Sultan Thamrin membelah kepala ikan dengan kedua tangan kosong, memasukkan jari telunjuk ke mulut ikan. Beberapa saat saja mulut ikan menutup, jari Sultan Thamrin tertelan. Tak bisa dilepas. Semua penghuni rumah panik, istri Sultan mencoba membantu menarik kepala ikan, yang terjadi justru jari sang suami makin kesakitan.

Darah keluar dari mulut ikan, membuka Sultan Thamrin makin kewalahan. Karena para asistennya juga tak bisa melepaskan jari telunjuknya dari mulut ikan. Sang istri menekan nomor pada layar gadget, menyuruh seseorang untuk segera datang. 

Kedatangan pria berjas putih disambut hangat seisi rumah. 

"Tuan, saya sarankan anda harus segera dioperasi namun anda akan kehilangan jari telunjuk. Karena gigi tajam ikan ini sudah menancap dalam ke kulit jemari. Jika tanpa bantuan alat bisa-bisa terjadi penyobekan kulit dan itu akan sangat berbahaya," ujarnya setelah memeriksa.

Wajah Sultan Thamrin memerah mengucurkan keringat dingin. Para bodyguard membawa majikannya ke rumah sakit terdekat. 

Salah satu Asisten rumah tangganya yang dipanggil Bi Irma memberi kesimpulan kepada istri Sultan Thamrin.

"Kemungkinan ikan ini bukan hak Bapak, sebaiknya dikembalikan ke pemiliknya."

"Mengapa Bi Irma bisa punya pemikiran seperti itu?"

Bi Irma menghembuskan nafas berat, "Karena tidak mungkin ikan mati bisa sekeras ini. Jika memang itu milik kita pasti akan biasa saja. Ikan akan lunak dan mudah untuk dimasak."

"Lantas bagaimana, Bi?

"Lebih baik Ibu tanyakan pada Bapak dari mana ikan ini dia peroleh." Saran Bi Irma

"Oke, Bi. terima kasih."

Malam itu menjadi ujian terberat bagi Sultan Thamrin. dia terus dihantui wajah sedih nelayan tua di pantai Menganti. Meskipun dia bisa menggerakkan bibir dan mendengarkan orang bicara. Tubuhnya lumpuh di atas ranjang.

Kata sang istri, sebaiknya dia segera menemui nelayan tersebut untuk diberi kesempatan meminta maaf dan mengembalikkan apa yang menjadi miliknya.

Hari pertama dengan dua bodyguard, Sultan Thamrin mengenakan kursi roda. Mengelilingi kongsi melakukan pencarian. Orang-orang biasa memanggil nelayan tersebut dengan nama Pak Wahyono. 

"Sudah seminggu ini Pak Wahyono tidak kelihatan lagi batang hidungnya," ucap warga sekitar pantai.

Karena biasanya Pak Wahyono selalu tampak sibuk menjaring ikan dan mencari umpan cacing di waktu sore. Sedang paginya akan menawarkan ikan tangkapan di kongsi bersama nelayan lain.

Hari kedua, Sultan Thamrin tak henti mencari keberadaan Pak Wahyono. Apapun dia lakukan demi kembali sehat. Meskipun sudah kehilangan jari telunjuk, dia berharap ada kesempatan kedua memperbaiki sikap lebih baik dari sebelumnya. Bukan hanya kepada Pak Wahyono saja akan tetapi kepada semua orang.

Hari kedua pencarian belum menemui titik terang. Dilanjutkan hari besok, kini tubuh tambun Sultan Thamrin makin ringkih. Pak Wahyono seperti tertelan bumi. Tak ada kabar menurut suruhannya tempat tinggalnya sudah lama kosong semenjak hari terakhir pertemuan mereka. 

Pak Wahyono diusir oleh penghuni kontrakan karena sudah menunggak pembayaran selama tiga bulan.

Semua suruhan Sultan Thamrin gagal mencari informasi tentang keberadaan keluarga Pak Wahyono.

Hari yang dilalui Sultan Thamrin makin berat. Sebuah penyesalan yang ditanggung selama setahun. Kondisinya tetap sama. Terjadi  kelumpuhan. Jika tanpa bantuan orang lain Sultan Thamrin seperti boneka hidup.

Dia hanya bisa menggerakkan bibir ketika makan dan berbicara, kedua bola mata dapat melirik ke kiri ke kanan kecuali kaki dan tangan. Enggan diperintahkan.

"Yang sabar, Pah. Jangan berhenti untuk mencari Pak Wahyono! Mamah yakin papah akan diberikan kesempatan kedua untuk bertemu kembali dengannya. Dan, memperbaiki semuanya."

Sang istri selalu menguatkan. Bi Irma, Asisten rumah tangganya mendadak mengundurkan diri dari pekerjaan, dengan alasan saudara di kampung ada yang meninggal.

Gerik gerik Bi Irma tampak mencurigakan, istri Sultan Thamrin menugaskan suruhannya untuk mengikuti kemanapun Bi Irma pergi, secara diam-diam.

Bi Irma menaiki sebuah Bus dengan membawa beberapa perbekalan baju dalam sebuah dus. 

Wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah mewah, memilih pulang ke kampung halamannya.

"Ibu.... "

Sebuah kecupan mendarat di kening Bi Irma sambil mendekap erat dalam pelukan bersama anak perempuannya. Seorang pria yang sedari tadi mengikuti Bi Irma memotret dari kejauhan. Memberi informasi kepada majikannya lewat gadget. Usai itu dimasukan kembali ke dalam kantong celana.

Rumah sederhana, yang berdiri di pelosok desa terpampang bendera kuning di bagian depan pagar rumah. 

"Bu, emas Wahyono. Hikkk.... " 

Anak perempuan Bi Irma terisak saat memberi tahu bahwa suaminya telah tiada.

Bi Irma bersama perempuan berhijab hitam menuju ke sebuah makam yang tidak jauh dari rumahnya. Papan berisi coretan tinta putih dengan nama Wahyono Cahyadi begitu jelas terbaca.

Jemari tangannya mengusap pelan kepala kayu, "Yono, Yono... Cepat sekali engkau berpulang. Ibu sangat sedih setelah tahu kejadian itu. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi majikan ibu telah mendapatkan hukuman dari Tuhan. Semoga engkau tenang di alam sana."

TAMAT

Pemalang, 16 Januari 2022

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun