Malam itu menjadi ujian terberat bagi Sultan Thamrin. dia terus dihantui wajah sedih nelayan tua di pantai Menganti. Meskipun dia bisa menggerakkan bibir dan mendengarkan orang bicara. Tubuhnya lumpuh di atas ranjang.
Kata sang istri, sebaiknya dia segera menemui nelayan tersebut untuk diberi kesempatan meminta maaf dan mengembalikkan apa yang menjadi miliknya.
Hari pertama dengan dua bodyguard, Sultan Thamrin mengenakan kursi roda. Mengelilingi kongsi melakukan pencarian. Orang-orang biasa memanggil nelayan tersebut dengan nama Pak Wahyono.Â
"Sudah seminggu ini Pak Wahyono tidak kelihatan lagi batang hidungnya," ucap warga sekitar pantai.
Karena biasanya Pak Wahyono selalu tampak sibuk menjaring ikan dan mencari umpan cacing di waktu sore. Sedang paginya akan menawarkan ikan tangkapan di kongsi bersama nelayan lain.
Hari kedua, Sultan Thamrin tak henti mencari keberadaan Pak Wahyono. Apapun dia lakukan demi kembali sehat. Meskipun sudah kehilangan jari telunjuk, dia berharap ada kesempatan kedua memperbaiki sikap lebih baik dari sebelumnya. Bukan hanya kepada Pak Wahyono saja akan tetapi kepada semua orang.
Hari kedua pencarian belum menemui titik terang. Dilanjutkan hari besok, kini tubuh tambun Sultan Thamrin makin ringkih. Pak Wahyono seperti tertelan bumi. Tak ada kabar menurut suruhannya tempat tinggalnya sudah lama kosong semenjak hari terakhir pertemuan mereka.Â
Pak Wahyono diusir oleh penghuni kontrakan karena sudah menunggak pembayaran selama tiga bulan.
Semua suruhan Sultan Thamrin gagal mencari informasi tentang keberadaan keluarga Pak Wahyono.
Hari yang dilalui Sultan Thamrin makin berat. Sebuah penyesalan yang ditanggung selama setahun. Kondisinya tetap sama. Terjadi  kelumpuhan. Jika tanpa bantuan orang lain Sultan Thamrin seperti boneka hidup.
Dia hanya bisa menggerakkan bibir ketika makan dan berbicara, kedua bola mata dapat melirik ke kiri ke kanan kecuali kaki dan tangan. Enggan diperintahkan.