2. Upacara Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi” atau seseorang yang sudah memasuki akil baligjuga disunat sebagai laki-laki yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah alat kelamin.
3. Upacara Perkawinan
Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka. Dalam prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai. Tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan.
4. Upacara Kematian
Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja. Mayat yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum dikubur, kemudian dimandukan, di bungkus dengan kain kafan, kemudian dikubur dengan menghadap ke arah Utara Selatan, menghadap ke Barat, kemudian diberi nisan.
- INTERAKSI SUKU SAMIN DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN
Khoirul Huda dan Anjar Mukti Wibowo membagi interaksi yang sering dilakukan masyarakat Samin menjadi dua cara, sebagai berikut :
1. Proses Asosiatif
- Kerjasama
Di dalam bentuk interaksi ini baik suku Samin dengan masyarakat pada umumnya sering melakukan kerja sama dalam hal gotong royong antar anggota masyarakatnya, misalnya gotong-royong membantu pembangunan rumah warga dengan sistem sambatan. Selain itu kerja bakti untuk membantu perbaikan sarana dan prasarana lingkungan seperti, pertama pembangunan akses jalan di Dusun Jepang dengan pengaspalan yang didapat dari bantuan pemerintah. Kedua, kerja sama dalam hal membangun balai Budaya yang nantinya tempat ini akan dijadikan sebagai pusat informasi Suku Samin. Ketiga, sinoman (pladen) saat ada masyarakat yang punya hajat. Hal ini khusunya keturunan orang Samin generasi muda yang sering terlibat dalam hal membantu sinoman ini, namun Samin sepuh juga membantu sebatas memberi komando dalam acara tersebut.
- Akomodasi
Bentuk interaksi ini berupa adanya sebuah rasa toleransi misalnya berkaitan dengan upacara keagamaan. Sebenarnya warga Samin secara tradisi memiliki cara tersendiri dalam peribadatan dan tidak terlihat oleh masyarakat awam. Namun ketika ada acara keagamaan secara umum mampu menghormati dan terkadang tidak ada pengusikan terhadap pelaksanaan acara itu. Di samping itu perbedaan pendapat ketika dalam musyawarah warga Samin sering menerima hasil keputusan rapat tersebut. Di samping itu juga menjalankan bentuk
akomodasi besifat compromise (persetujuan) dimana ketika menghadapi suatu permasalahan jalan ini sering mereka tempuh. ini dibuktikan ketika ada kesalahpahaman seperti sengketa pengukuran tanah yang terkadang dari pihak orang Samin selalu kukuh pada pendapatnya serta lahan itu tidak mau disertifikatkan, dan kemudian diajak musyawarah selanjutnya mereka akhirnya mau menerima putusan itu.