Negara juga tak kalah sibuk untuk ini. Terakhir Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Sayangnya nasib Perpres tersebut juga tidak kalah menyedihkan dengan selembar pamflet sekolah. Kita tahu Perpres tersebut malah menjadi pergunjingan dan implementasinya tidak jauh dari 'hanya' soal jam dan hari masuk sekolah dalam pusaran istilah full-day school.
Karakter, dalam pendidikan kita bak hantu. Dia sering disebut tapi tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
Paling banter, anak-anak kita akan dijejali dengan segudang pelajaran religi (agama) dan ritual ibadahnya. Saya tentu tidak menafikan hal tersebut, namun apakah hal tersebut adalah karakter?
Coba kita tengok hasil terbaru dari jenis pendidikan kita, tidak usah jauh-jauh lihat saja bagaimana kualitas anak muda kita saat di internet, medsos. Modal ritual keagamaan mereka malah kebanyakan dijadikan senjata untuk menyerang orang lain.
Selain itu juga tak terhitung banyaknya kasus-kasus anak muda yang berani-beraninya menghina tokoh agama hanya karena berbeda dengan apa yang mereka dapatkandan pahami.
Padahal, dalam kehidupan kesehariannya mereka sangat religius. Apakah ini karakter?
Masih banyak masalah lain untuk merubah karakteristik pelajar kita hari ini menjadi manusia-manusia tangguh. Terutama adalah kompetensi guru kita sendiri.
Bagaimana mungkin kita membentuk generasi tangguh, jika guru (terutama PNS) sibuk secara administratif menyiapkan berkas untuk sertifikasi mereka.
Begitu juga dosen. Raga mereka di kelas, namun pikiran dan tenaganya disibukkan demi kepentingan pribadi mereka, mulai penelitian sampai pengabdian yang (lagi-lagi kebanyakan) berujung pada pendanaan.
Belum lagi masalah rumit tentang berubahnya pola budaya keluarga-keluarga Indonesia. Untuk ini saya teringat keluhan salah satu kepala sekolah ketika mengantar mahasiswa KKN.