Setiap awal perkuliahan --saat kontrak perkuliahan- saya sering menemukan wajah-wajah 'bertanya' tentang isi kontrak perkuliahan. Sayangnya jarang sekali ada yang langsung bereaksi dengan bertanya atau keberatan.
Ini adalah tahun kelima saya menggunakan pendekatan proses dalam perkuliahan. Sebagian besar beban prosentase (40-50%) penilaian dalam matakuliah saya ada pada tugas mingguan.
Secara keseluruhan, saya hanya memberikan 20% untuk ujian akhir semester, artinya bisa jadi mahasiswa di kelas tetap saja lulus meskipun tidak mengikuti ujian akhir.
Saya memaklumi wajah bertanya mahasiswa saya, karena pendekatan yang saya terapkan mungkin tidak biasa mereka temui di kelas yang lain, bahkan pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Alasan saya sederhana, saya tidak mau menilai seseorang hanya pada babak akhir (ujian) saja. Bagi saya itu tidak fair dan menegasikan proses selama satu semester.
Merubah Kebiasaan
Tidak terhitung jumlahnya jika kita mau menengok alasan-alasan mendasar seseorang tidak mampu berkembang saat mulai masuk dalam dunia 'kerja'.
Sederet prestasi (tentunya akademik) dibawa saat sarjana, namun mereka justru tidak berkembang sebaik anak-anak yang justru memiliki prestasi biasa-biasa saja saat kuliah.
Mengapa demikian?
Saya memandang hal tersebut dari lemahnya kompetensi sosial-emosional (SE).
Badan kurikulum kita belum sepenuhnya seimbang dalam menakar kemampuan akademik dengan SE.
Kelulusan selalu ditakar dari ujian standar akademik, sedikit sekali kompetensi SE. Lain waktu insyaallah saya akan menulis lengkap tentang SE.
Pertama-tama saya menyadari bahwa remaja-remaja di depan saya adalah produk pendidikan yang mengedepankan hasil akhir ujian.
Perubahan kembali kelulusan dari standar Ujian Nasional (UN) menuju standar kolaborasi dengan hasil lokal (sekolah) tidak banyak merubah karakter (maha)siswa di depan saya.
Karena hemat saya, keduanya mengedepankan hasil akhir yang diujikan dalam bentuk ujian tulis. Jadi mau apapun ukuran yang dipakai, tetap saja cara ngukurnya sama, ujian standar.
Inilah masalahnya, anak-anak kita selalu dipaksa belajar hanya untuk ujian standar. Bukan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan.
Jika ada pertanyaan untuk apakah sekolah? Mau tidak mau, dengan sistem sekarang, kebanyakan sekolah mengarahkan siswanya untuk lulus ujian, naik kelas dan mendapatkan gelar.
Oleh karenanya saya memilih jalan lain. Saya ingin melihat anak-anak didik saya berkembang bukan hanya dalam bidang akademik, namun juga memiliki kmpetensi sosial-emosional yang baik. Saya ingin mereka mengenali diri mereka sendiri, menentukan standar atas perekenalannya tersebut, mengaturnya sedemikian rupa untuk sebuah tugas demi pengembangan kompetensinya dan tentunya mampu menghormati dan menaruh empati terhadap hasil karya orang lain. Itulah ujian bagi mereka.
Sebagai fasilitator, tugas saya adalah terus memantau hal tersebut langkah demi langkah, mingu demi minggu. Siapakah yang lulus? Ya mereka yang mampu menetapkan prinsip dan konsisten dari waktu ke waktu.
Hantu 'Karakter'
Masalah kedua adalah tentang absurdnya istilah 'karakter'. Mata dan telinga kita tentu sangat familiar dengan istilah ini. Setiap pergantian tahun ajaran, hampir semua sekolah berlomba merias dirinya dengan atribut pendidikan karakter.
Sayangnya perlombaan tersebut kebanyakan hanya berhenti di selembar pamflet, buku profil sampai banner yang dipasang untuk promosi. Kalau tidak percaya, coba datang ke sekolah dan bertanya langsung pada kepala sekolah atau guru yang mengaku sekolahnya menerapkan pendidikan berkarakter. Mereka akan bingung mendefinisikan karakter, apalagi mengimplementasikannya.
Negara juga tak kalah sibuk untuk ini. Terakhir Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Sayangnya nasib Perpres tersebut juga tidak kalah menyedihkan dengan selembar pamflet sekolah. Kita tahu Perpres tersebut malah menjadi pergunjingan dan implementasinya tidak jauh dari 'hanya' soal jam dan hari masuk sekolah dalam pusaran istilah full-day school.
Karakter, dalam pendidikan kita bak hantu. Dia sering disebut tapi tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
Paling banter, anak-anak kita akan dijejali dengan segudang pelajaran religi (agama) dan ritual ibadahnya. Saya tentu tidak menafikan hal tersebut, namun apakah hal tersebut adalah karakter?
Coba kita tengok hasil terbaru dari jenis pendidikan kita, tidak usah jauh-jauh lihat saja bagaimana kualitas anak muda kita saat di internet, medsos. Modal ritual keagamaan mereka malah kebanyakan dijadikan senjata untuk menyerang orang lain.
Selain itu juga tak terhitung banyaknya kasus-kasus anak muda yang berani-beraninya menghina tokoh agama hanya karena berbeda dengan apa yang mereka dapatkandan pahami.
Padahal, dalam kehidupan kesehariannya mereka sangat religius. Apakah ini karakter?
Masih banyak masalah lain untuk merubah karakteristik pelajar kita hari ini menjadi manusia-manusia tangguh. Terutama adalah kompetensi guru kita sendiri.
Bagaimana mungkin kita membentuk generasi tangguh, jika guru (terutama PNS) sibuk secara administratif menyiapkan berkas untuk sertifikasi mereka.
Begitu juga dosen. Raga mereka di kelas, namun pikiran dan tenaganya disibukkan demi kepentingan pribadi mereka, mulai penelitian sampai pengabdian yang (lagi-lagi kebanyakan) berujung pada pendanaan.
Belum lagi masalah rumit tentang berubahnya pola budaya keluarga-keluarga Indonesia. Untuk ini saya teringat keluhan salah satu kepala sekolah ketika mengantar mahasiswa KKN.
Kepala sekolah menyatakan menjadi guru sekarang berat, bukan hanya soal PR administratifnya, namun secara keseluruhan pola keluarga dalam menilai sekolah juga berubah.
Jika dulu keluarga mempercayakan anak-anak ke sekolah,tanpa rewel. Sekarang mereka percaya tidak percaya. Maksudnya---lanjut kepala sekolah tersebut- orangtua sekarang itu rewel luar biasa untuk urusan anaknya, namun tidak kooperatif dengan program sekolah.
***
Sebagai orang yang terlibat langsung dalam pendidikan, sempat terbesit harapan nyata ketika 'revolusi mental' digaungkan.
Namun, saya belum melihat gerakan nawacita merasuki dunia pendidikan secara nyata. Pendidikan formal kita masih sama, dengan ruang yang sama dan kualitas guru yang sama pula.
Pergantian kurikulum --yang sering dilakukan-terbukti bukanlah obat mujarab. Selalu saja berhenti pada level administratif, korbannya lagi-lagi sama, guru dan pelajar serta tentu orangtua dan masyarakat.
Saya terus berharap, berusaha dan terus menjalankan hal-hal kecil demi perubahan. Salah satunya dengan merubah paradigma hasil menuju paradigma proses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H