Kelulusan selalu ditakar dari ujian standar akademik, sedikit sekali kompetensi SE. Lain waktu insyaallah saya akan menulis lengkap tentang SE.
Pertama-tama saya menyadari bahwa remaja-remaja di depan saya adalah produk pendidikan yang mengedepankan hasil akhir ujian.
Perubahan kembali kelulusan dari standar Ujian Nasional (UN) menuju standar kolaborasi dengan hasil lokal (sekolah) tidak banyak merubah karakter (maha)siswa di depan saya.
Karena hemat saya, keduanya mengedepankan hasil akhir yang diujikan dalam bentuk ujian tulis. Jadi mau apapun ukuran yang dipakai, tetap saja cara ngukurnya sama, ujian standar.
Inilah masalahnya, anak-anak kita selalu dipaksa belajar hanya untuk ujian standar. Bukan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan.
Jika ada pertanyaan untuk apakah sekolah? Mau tidak mau, dengan sistem sekarang, kebanyakan sekolah mengarahkan siswanya untuk lulus ujian, naik kelas dan mendapatkan gelar.
Oleh karenanya saya memilih jalan lain. Saya ingin melihat anak-anak didik saya berkembang bukan hanya dalam bidang akademik, namun juga memiliki kmpetensi sosial-emosional yang baik. Saya ingin mereka mengenali diri mereka sendiri, menentukan standar atas perekenalannya tersebut, mengaturnya sedemikian rupa untuk sebuah tugas demi pengembangan kompetensinya dan tentunya mampu menghormati dan menaruh empati terhadap hasil karya orang lain. Itulah ujian bagi mereka.
Sebagai fasilitator, tugas saya adalah terus memantau hal tersebut langkah demi langkah, mingu demi minggu. Siapakah yang lulus? Ya mereka yang mampu menetapkan prinsip dan konsisten dari waktu ke waktu.
Hantu 'Karakter'
Masalah kedua adalah tentang absurdnya istilah 'karakter'. Mata dan telinga kita tentu sangat familiar dengan istilah ini. Setiap pergantian tahun ajaran, hampir semua sekolah berlomba merias dirinya dengan atribut pendidikan karakter.
Sayangnya perlombaan tersebut kebanyakan hanya berhenti di selembar pamflet, buku profil sampai banner yang dipasang untuk promosi. Kalau tidak percaya, coba datang ke sekolah dan bertanya langsung pada kepala sekolah atau guru yang mengaku sekolahnya menerapkan pendidikan berkarakter. Mereka akan bingung mendefinisikan karakter, apalagi mengimplementasikannya.