Selain itu, PRT juga dianggap sebagai "malaikat" yang harus mampu berpindah tempat dalam waktu sekejap ketika ada panggilan atau ketika ia dibutuhkan.
Majikan banyak yang tidak peduli apakah PRT sedang menyelesaikan daftar/ list pekerjaan, yang terpenting adalah pada saat dipanggil, maka saat itu pula PRT harus dapat hadir sesegera mungkin.
PRT dituntut untuk perfectionist
Hampir semua majikan mungkin mengharapkan PRT nya mampu menjadi seorang yang perfect. Biasanya PRT selalu diwanti-wanti agar jangan ada satu kesalahan pun yang diperbuat. Padahal PRT adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekeliruan atau khilaf.Â
Tak sedikit pula majikan yang tidak bersedia mentolerir kesalahan yang diperbuat PRT. Sekecil apapun kesalahan itu maka PRT dituntut untuk ganti rugi misalkan dengan cara gaji yang dipotong. sungguh malang sekali.
Bagaikan pekerja robot
Tidak sedikit pula orang menganggap bahwa menjadi PRT tidak perlu memiliki perasaan alias cukup jadi robot saja.
Bukan perintah, perintah dan perintah saja yang diharapkan oleh PRT. Walaupun mereka memiliki "setting" untuk bekerja, tapi sebenarnya PRT juga membutuhkan apersepsi dan apresiasi sebagai "recharge" semangat atas kerja keras mengurusi rumah tangga majikan.
Akan sampai kapan nasib PRT termarjinalkan?
Yang namanya pekerja, nasibnya memang selalu nestapa, apalagi nasib seorang PRT yang senantiasa tak dihiraukan.
Hal itu terjadi karena masih adanya perasaan "superior" dan menganggap bahwa PRT adalah orang yang sangat membutuhkan pekerjaan.Â
Mungkin, menjadi PRT adalah pilihan pekerjaan nomor terakhir yang harus dipilih lantaran tak ada lagi pekerjaan yang bisa diambil. Mana ada orang yang rela membereskan "kotoran" dan sampah yang kita hasilkan selain PRT.
Walaupun begitu luar biasanya perjuangan dan pengorbanan seorang PRT demi pundi-pundi rupiah dan belas kasih, tapi untuk memperolehnya tidaklah mudah samak sekali.
Mari kita cermati bagaimana nasib yang dialami PRT selama ini.