Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Quiet Quitting dan Quiet Firing di Dunia Pendidikan

23 September 2022   11:29 Diperbarui: 26 September 2022   09:51 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika pekerja mampu mengatasi quiet quitting, ketika dirumah pun ia bisa dengan sukarela bekerja dengan sukacita (PEXELS/ANDREA PIACQUADIO)

Hingga kini, pembicaraan hangat tentang quiet quitting ini masih saja terus dibicarakan oleh berbagai kalangan. Baik di dunia nyata maupun di jagat maya.

Sebenarnya, fenomena ini telah terjadi sejak dulu kala. Hanya saja belakangan istilah ini bisa booming lantaran terdengar menarik dan kebarat-baratan.

Quiet quitting bermakna tindakan bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.

Tindakan ini bisa jadi adalah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap tuntutan tinggi dari perusahaan atau tempat bekerja.

Sedangkan quiet firing bermakna tindakan atau sikap perusahaan yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiet quitting. Dengan cara mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya tersebut dengan tidak melibatkannya dalam proyek, promosi atau hal penting lainnya yang mampu menunjang karir.

Secara sederhana, quiet quitting ini sebagai sesuatu yang dialami dan dirasakan oleh pekerja. Sedangkan quiet firing sebagai bentuk tindakan perusahaan untuk pekerja yang melakukan quiet quitting.

Quiet quitting dan quiet firing ini merupakan toksik atau virus yang dapat menggerogoti semangat dan etos kerja, serta dapat pula membuat lingkungan kerja menjadi tidak kondusif. Akibatnya pekerja yang terkena toksik ini mengalami demotivasi.

Hal ini dapat terlihat dari tindakan dan cara pandangnya terhadap pekerjaan. Bahkan ada kecenderungan untuk malas dan bekerja asal-asalan. Selain tentunya yang paling jelas terlihat adalah bekerja sesuai jobdesc yang telah ditentukan saja.

Toksik yang terjadi di dunia kerja ini dapat mewabah di berbagai kawasan pekerja, baik itu di instansi pemerintah maupun di instansi swasta. Termasuk pula di perusahaan dan lembaga lainnya.

Bahkan di dunia pendidikan pun toksik quiet quitting dan quiet firing ini nyata adanya. 

Sehingga ketika Kompasiana mengangkat isu quiet quitting ini menjadi Topik Pilihan, ingatan kami langsung mengarah kepada kerabat kami yang telah terjangkit toksik quiet quitting ini secara akut.

Kerabat kami ini merupakan seorang guru yang masih berstatus honorer. Sama seperti para honorer lainnya, ia selalu bekerja dengan penuh keikhlasan walau dipenuhi oleh berbagai rintangan dan tantangan dalam mengajar.

Di luar jam mengajar, ia seringkali mengerjakan pekerjaan tambahan yang diberikan oleh Kepala Sekolah maupun guru lain terkadang hal itu dirasa cukup memberatkannya.

Memang sih, Kepsek atau guru lain hanya minta bantuan tapi jika semuanya ia yang handle tentu juga akan menjadi keteteran.

Keadaan tersebut terus terjadi sehingga seringkali harus mengorbankan tenaga, waktu dan bahkan biaya.

Padahal gaji yang diterima tidak sebanding dengan banyaknya pekerjaan di luar jam mengajar yang sungguh menguras banyak aspek dan perlu pengorbanan untuk itu.

Semua guru honorer pasti memiliki niat mulia yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upayanya dalam mengajar dan mendidik anak bangsa.

Namun, hanya saja pekerjaan yang harus dilakukannya di luar jam mengajar sungguh merepotkan. Belum lagi harus menyelesaikan administrasi dan perangkat pembelajaran seperti mengolah nilai dan sebagainya.

Walaupun di sekolahnya tersebut ada tenaga tata usaha (TU), namun karena ia memiliki keterampilan dan kompetensi yang mumpuni dan mampu menyelesaikan semua tugas dengan sangat baik dan memuaskan. maka dia lah yang sering "langganan" menyelesaikan berbagai tugas di sekolah tersebut.

Pun, apresiasi dan penghargaan yang diterimanya juga tidak sebanding dengan berbagai hal yang telah dikorbankan.

Gaji yang diterima dari sekolah tidaklah seberapa. Pembayaran gaji sebagai honorer pun dilakukan dalam masa 3 bulan sekali secara rapelan.

Sedangkan bentuk apresiasi dari sesama guru juga sangat kurang, jangankan memberi sedikit rupiah untuk mengelap keringat, ucapan terima kasih pun juga jarang ia terima.

Hal diatas memang sudah menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi dan dialami oleh para tenaga honorer.

Tidak hanya di sekolah, di instansi lain seperti di lembaga pemerintahan pun juga terjadi hal semacam itu. sehingga fenomena "perbudakan" ini sudah menjadi rahasia umum namun minim tindak lanjut.

lingkungan kerja dengan praktek semacam itu memang sungguh tidak sehat dan itulah yang menjadi penyebab di kalangan tenaga honorer banyak yang pada akhirnya mengalami quiet quitting. 

Banyak honorer yang untuk bertahan hidup memiliki "side job" misalkan berdagang atau punya online shop. 

Ketika toksik quiet quitting telah menjangkiti para honorer maka mereka akan lebih gampang mengeluh dan berpengaruh kepada etos kerja yang selama ini telah terbangun dengan baik.

bagi anda yang di tempat kerjanya ada tenaga honorer, namun ketika dimintai bantuan ia banyak alasan dan enggan untuk melakukannya maka fenomena semacam itu sudah menjadi indikasi honorer tersebut sudah terkena quiet quitting.

Ketika dibiarkan berlarut-larut maka akan banyak tenaga honorer yang akan mengangkat "bendera putih" tanda menyerah akan keadaan.

Apalagi jika misalkan honorer melakukan komparasi dari segi gaji dimana mungkin saja pendapatan yang diperoleh melalui side job tadi lebih besar dibanding gaji sebagai honorer.

Jika kesempatan untuk berhenti itu sudah bulat, maka tenaga honorer akan melakukan tindakan resign dari pekerjaannya.

Dan itulah yang telah dilakukan kerabat kami yang sudah berhenti dari pekerjaannya akibat mengalami quiet quitting ini. 

Walaupun sudah hampir 10 tahun bekerja dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Kini, ia fokus bekerja sesuai passion-nya yang lain yang sepertinya lebih "mensejahterakan".

Selain para honorer yang gampang terkena quiet quitting, tenaga outsourcing juga sangat rentan terkena toksik yang satu ini di dunia kerja.

Penulis yang dulunya sempat menjadi tenaga outsourcing di salah satu anak perusahan aplikasi jebolan Google tetap saja tak bisa bebas dari toksik quiet quitting ini.

Perusahaan outsource tempat kami bekerja seakan-akan mengambil kesempatan dengan menjadikan para tenaga outsourcing mampu bekerja dengan berbagai tekanan.

Tak salah jika ada istilah "bekerja bagai kuda", itulah yang dirasakan oleh para tenaga outsourcing.

Jadi, fenomena quiet quitting dan quiet firing ini menjadi toksik yang benar-benar nyata dan dapat dialami oleh semua pekerja dimanapun mereka bekerja. 

Sebenarnya, tidak hanya para honorer dan tenaga outsourcing saja yang akan terkena toksik ini. Para pegawai, karyawan tetap dan semua orang yang berstatus sebagai seorang pekerja memiliki kerentanan yang sama untuk terkena quiet quitting dan quiet firing ini secara personal.

Hendaklah fenomena terjadinya toksik quiet quitting dan quiet firing ini tidak terus menjangkiti para pekerja dimanapun mereka bekerja.

Mengatasi toksik quiet quitting dan quiet firing dalam dunia kerja (sumber foto oleh fauxels dari Pexels)
Mengatasi toksik quiet quitting dan quiet firing dalam dunia kerja (sumber foto oleh fauxels dari Pexels)

Untuk itu, dibawah ini ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan baik oleh honorer di instansi pendidikan, pekerja outsourcing, maupun pihak perusahaan atau tempat kerja lainnya.

1. Bekerja sesuai "passion"

Hal paling utama yang perlu diperhatikan oleh para calon pekerja sebelum melamar sebuah pekerjaan adalah apakah pekerjaan yang dilamar tersebut sudah sesuai dengan passion. 

Passion ini berarti tingkat antusiasme pekerja. Antusiasme kerja adalah kecenderungan untuk menyelesaikan tugas pekerjaan secara sukarela. Gairah menentukan seberapa tinggi tingkat stres seorang pekerja dalam pekerjaan sehari-hari.

Ketika kita bekerja sesuai passion yang selama ini menjadi impian dan cita-cita, maka seperti apapun rintangan dan tantangan yang menghadang maka pekerja tersebut dapat melewatinya dengan "kalem" dan penuh sukacita.

2. Bekerja dengan integritas dan penuh tanggung jawab

Sebagai seorang pekerja, tunjukkanlah bahwa diri ini memiliki integritas. Menurut Wikipedia, integritas merupakan sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh dari potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. 

Hal tersebut sangat diperlukan dalam dunia kerja. 

3. Lakukanlah "self healing"

Agar tetap "waras" maka pekerja harus meluangkan waktunya untuk self healing yang berarti penyembuhan diri dari masalah yang menyebabkan kelelahan emosional. 

Ketika weekend misalnya pekerja bisa meluangkan waktunya untuk melakukan short trip atau jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang ada di kota yang sama. Cara seperti itu bisa untuk mengembalikan semangat dan motivasi dalam bekerja.

4. Menjaga mental health dengan "sharing story"

Apa yang dialami oleh seorang pekerja di tempat ia bekerja, terutama untuk hal-hal yang menimbulkan permasalahan emosional akan lebih baik untuk diceritakan kepada orang lain. 

Karena terkadang tidak semua orang mampu untuk memendam apa yang ia rasakan seorang diri. Sesi "curhat" bisa dilakukan bersama orang-orang terdekat, keluarga, maupun rekan kerja yang bisa dipercaya karena memiliki sifat yang baik misalnya.

Banyak orang yang stres di luar sana, salah satu penyebabnya adalah karena tidak mampu menahan permasalahan emosionalnya seorang diri.

5. Mengikuti gathering atau "studi tiru"

Ketika perusahaan atau kantor tempat kita bekerja melakukan acara gathering maka hendaklah kita mengikuti kegiatan tersebut.

Gathering perusahaan adalah acara bersama yang dapat diadakan bersama karyawan. Salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan gathering ini adalah menyediakan tempat bagi karyawan untuk menyegarkan pikiran.

Sehingga setelah itu para pekerja akan kembali bekerja dengan semangat dan bersungguh-sungguh.

Begitu pula ketika di sekolah mengadakan kegiatan study tour bagi semua guru, maka hendaklah honorer juga harus mengikutinya agar semakin mendekatkan hubungan sesama warga sekolah.

6. Tiada hasil yang mengkhianati usaha

Cerita akhir dari sebuah usaha adalah hasil. Seperti apapun usaha yang telah kita lakukan maka hasilnya akan sesuai dengan apa yang telah kita usahakan. 

Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Adil, yang mana Dia akan memberikan apa yang kita impikan sesuai dengan apa yang telah kita upayakan.

Ketika seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dengan segala daya dan upaya maka ia akan memperoleh manfaat dari itu semua. Bisa saja setelah itu akan diangkat menjadi karyawan tetap, dipromosikan untuk naik level, dan sebagainya.

Maupun honorer akan menemukan jalan menjadi ASN, baik melalui rekrutmen CPNS maupun calon PPPK.

Tentu berbeda hasil yang akan diperoleh ketika pekerja larut dengan quiet quitting, masa depannya di tempat bekerja akan suram dan tiada kejelasan masa depannya di tempat bekerja itu akan seperti apa.

7. Banyak bersyukur dan mendekatkan diri kepada Tuhan

Sebagai seseorang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sudah selayaknya bagi pekerja untuk menyerahkan segala permasalahan yang dihadapi di tempat kerja kepada Allah SWT.

Dengan bertawakal atau berserah diri ini maka akan ada kemudahan dibalik segala kesulitan yang dihadapi oleh pekerja. 

Apalagi seorang guru atau pendidik yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang merupakan sebuah tugas yang sangat mulia.

Ketika pekerjaan mencerdaskan anak bangsa tersebut dilakukan dengan penuh syukur dan keikhlasan maka akan ada kebaikan-kebaikan dari Tuhan yang datangnya tak disangka-sangka.

Percayalah, hal baik pasti akan terjadi!

Ketika pekerja mampu mengatasi quiet quitting, ketika dirumah pun ia bisa dengan sukarela bekerja dengan sukacita (PEXELS/ANDREA PIACQUADIO)
Ketika pekerja mampu mengatasi quiet quitting, ketika dirumah pun ia bisa dengan sukarela bekerja dengan sukacita (PEXELS/ANDREA PIACQUADIO)

***

Demikianlah bagaimana fenomena quiet quitting pada pekerja di berbagai tingkatan atau level posisi dan quiet firing bagi perusahaan, sekolah dan berbagai model tempat bekerja lainnya. 

Semua orang yang berstatus sebagai "pekerja" baik itu pegawai tetap, pegawai kontrak, honorer, hingga outsourcing sama-sama memiliki kerentanan yang sama untuk terkena toksik yang satu ini di dunia kerja.

Demi mencegah itu semua, maka cermatilah ke-7 aspek yang telah penulis sampaikan diatas.

Semoga bermanfaat dan mampu membentengi diri kita semua sebagai seorang "karya-wan" (manusia yang mampu berkarya) agar terhindar dari toksik quiet quitting dan quiet firing ini.

...........................................................

Salam berbagi dan menginspirasi.

[Akbar Pitopang]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun