Selain para honorer yang gampang terkena quiet quitting, tenaga outsourcing juga sangat rentan terkena toksik yang satu ini di dunia kerja.
Penulis yang dulunya sempat menjadi tenaga outsourcing di salah satu anak perusahan aplikasi jebolan Google tetap saja tak bisa bebas dari toksik quiet quitting ini.
Perusahaan outsource tempat kami bekerja seakan-akan mengambil kesempatan dengan menjadikan para tenaga outsourcing mampu bekerja dengan berbagai tekanan.
Tak salah jika ada istilah "bekerja bagai kuda", itulah yang dirasakan oleh para tenaga outsourcing.
Jadi, fenomena quiet quitting dan quiet firing ini menjadi toksik yang benar-benar nyata dan dapat dialami oleh semua pekerja dimanapun mereka bekerja.Â
Sebenarnya, tidak hanya para honorer dan tenaga outsourcing saja yang akan terkena toksik ini. Para pegawai, karyawan tetap dan semua orang yang berstatus sebagai seorang pekerja memiliki kerentanan yang sama untuk terkena quiet quitting dan quiet firing ini secara personal.
Hendaklah fenomena terjadinya toksik quiet quitting dan quiet firing ini tidak terus menjangkiti para pekerja dimanapun mereka bekerja.
Untuk itu, dibawah ini ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan baik oleh honorer di instansi pendidikan, pekerja outsourcing, maupun pihak perusahaan atau tempat kerja lainnya.
1. Bekerja sesuai "passion"
Hal paling utama yang perlu diperhatikan oleh para calon pekerja sebelum melamar sebuah pekerjaan adalah apakah pekerjaan yang dilamar tersebut sudah sesuai dengan passion.Â
Passion ini berarti tingkat antusiasme pekerja. Antusiasme kerja adalah kecenderungan untuk menyelesaikan tugas pekerjaan secara sukarela. Gairah menentukan seberapa tinggi tingkat stres seorang pekerja dalam pekerjaan sehari-hari.