Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).
Nandong tesebut ratusan tahun bertahan hingga sekarang di bumi ate fulawan (Simeulue), jauh dari sentuhan teknologi pendeteksi dini tsunami, namun korban yang ada amatlah sedikit jika dibandingkan dengan wilayah terdampak yang lain. Sungguh sebuah aplikasi local wisdom yang mendobrak nilai logika teknologi namun menggugah.
Syahril (45), staf tata usaha di sekolah tempat saya mengajar menuturkan kalau ia semasa kecil sering dinyanyikan nandong smong oleh ibunya, setiap tidur selalu dilantunkan.
“Udah mendarah daging nandong ssmong sama kami pak Akbar. Bukan di kecamatan kita aja nandong tu dilagukan semua sudut Simeulue ini menandong smong” Ucapnya.
Ternyata memang itulah kunci mitigasi sederhana berbasis kearifan lokal masyarakat Simeulue yang sangat membuat saya tercengang.