Darinya saya mendengar kisah bencana hebat yang paling menggemparkan dunia saat itu. Dengan penuh rasa penasaran saya mengorek semua informasi seputar pertanyaan yang terus bergelayut dalam otak saya.
Bu Zainab menuturkan saat bencana hebat tersebut terjadi, suaminya yang saat itu masih menjadi Geuchik (Kepala Desa) memeriksa rumah, sebab pagi itu anak-anak mereka masih tertidur did lam rumah sementara mereka tengah memanen kelapa. Setelah memastikan anak-anak mereka selamat karena runtuhan rumah mengarah keluar, Pak Keuchik dengan cekatan pergi ke pantai untuk melihat apakah ada keganjilan. Ternyata sesampainya Pak Keuchik ia melihat air laur surut secara tiba-tiba dan drastis, kontan saja ia berlari ke desa dan mengerahkan semua penduduk agar naik ke bukit/daerah yang lebih tinggi untuk menghindari tsunami.
“Smoooooooong, smooooong” Ucap Zainab menirukan teriakan suaminya saat itu memberitahukan kepada seluruh penduduk bahwa akan ada bencana dahsyat berhubungan dengan gelombang laut yang tinggi, dan seluruh pemuda juga bersama-sama meneriaki kata smong.
“Semua orang lari ke bukit, Bar” ucap Bu Zainab melanjutkan cerita. Ketika ditanya mengenai jumlah korban jiwa akibat amukan tsunami saat itu, Bu Zainab menjawab ada.
“Ada tu yang meninggal, di Kecamatan kita ini kalau gak salah ada 2 orang, yang satu sakit jadi gak bisa lari dia, yang satu lagi udah lari tapi ntah ada yang mau dia ambil di rumah dia tu pas mau lari lagi gak sempat jadi kena sapu ombak dia. Kalau se-Kabupaten kalau gak salah semua cuma 7 orang yang meninggal kena gempa sama tsunami, Bar” lanjut Bu Zainab.
Bu Zainab menuturkan kenangannya saat itu dari ketinggian bukit melihat gelombang raksasa datang dari tengah laut, hitam dan pekat. “Ngeri kali kalau liat air tsunami tu datang, hitam pekat, kencang kali arusnya. Habis semua di sapu sama ombak tu, sekolah kita habis disapu, cuma masjid tu yang gak hancur”, tuturnya sambil mengenang.
Dari cerita Bu Zainab, betapa dahsyat pengaruh kata “smong” bagi penduduk.
--- Smong, Local Wisdom ala Simeulue Ate Fulawan ---
Setiap wilayah punya karakteristik masing-masing termasuk dalam hal kearifan lokal (local wisdom). Simeulue, kabupaten ini terkenal dengan sebutan Simeulue Ate Fulawan (Simeulue Berhati Emas). Sepertinya filosofi berhati emas yang tersemat pada kabupaten yang memisahkan diri dari Aceh Barat tahun 1999 ini tidaklah berlebihan, terlebih dengan kemampuan mereka dalam melakukan mitigasi bencana secara mandiri dan turun temurun.
Ternyata istilah smong bukanlah istilah yang timbul dan diingat begitu saja tanpa sejarah di baliknya. 108 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1907, tsunami penah melanda pulau Simeuue yang didahului dengan gempa bumi kuat. Pada saat itu, setelah terjadinya gempa besar, air surut mendadak sehingga ikan-ikan terdampar di pantai dan memancing penduduk untuk menguti ikan-ikan yang terdampar. Namun, ternyata tak lama setelah itu ombak tinggi datang menderu-deru menyapu penduduk. Korban jiwa banyak, harta benda lenyap, rumah hancur, dan banyak yang kehilangan sanak keluarga mereka. Mereka yang selamat dalam peristiwa itu lantas menjadikannya sebagai pelajaran hidup dan disampaikan kepada anak cucu mereka secara turun temurun melalui lagu-lagu pengantar tidur atau masyarakat menyebutnya dengan nandong.