Mohon tunggu...
Muhammad Akbar
Muhammad Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Citizen Journalist (JURU TULIS LEPAS)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menjejak Simeulue, Menikmati Indahnya Mitigasi Bencana ala Bumi Ate Fulawan

11 Juli 2015   13:09 Diperbarui: 11 Juli 2015   13:30 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pertengahan September 2013, saat itu saya dan 98 orang teman lainnya yang tergabung dalam laskar Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) angkatan 3 utusan Universitas Negeri Medan menunggu keberangkatan maskapai Sky Aviation di Terminal Bandar Udara Kuala Namu menuju Pulau Simeulue. Dari balik dinding kaca ditambah hawa sejuk bandara saya memandang deretan pesawat yang lalu lalang dari dan ke Bandara Kuala Namu. Saya merasa menjadi orang yang paling “kampungan” pada saat itu sebab untuk kali pertama saya akan menaiki pesawat terbang, pertama dalam hidup.

Saat yang ditunggu tiba, bersama teman-teman saya berangkat kloter pertama. Hawa dingin AC dalam pesawat terasa saat saya duduk di bangku pesawat tepat di samping jendela kaca pesawat. Saya mengintip dari samping saat pesawat lepas landas dan terus membuka mata serta mengarahkan kamera ke arah pemandangan rangkaian daratan Sumatera kawasan bukit barisan. Satu jam melayang di udara, terlihatlah bentangan pulau kecil nan indah di lepas pantai Sumatera yang bernama pulau Simeulue. Hamparan pulau dengan garis pantai yang biru nan menawan, sangat menakjubkan.

Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Lasikin, Sinabang, kali pertama menghirup segarnya udara Pulau Simeulue. Tak lama di Bandara, kami dijemput dengan bus oleh pihak Dinas Pendidikan untuk menunggu kloter keberangkatan kedua. Setelah rombongan kloter kedua sampai kami dikumpulkan di pendopo bupati dan diberi pengarahan serta penempatan sekolah pengabdian untuk menjalankan tugas mendidik selama setahun. Setelah menunggu dan menunggu, akhirnya voilaaa!!! Saya ditempatkan di SMP Negeri 2 Teupah Selatan, desa Badegong. Rasa penasaran semakin besar. Sore hari menjelang malam, saya diantar menuju rumah kepala sekolah dengan mobil pick up, pengalaman yang sangat menegangkan menyusuri jalan yang sepanjang pinggirannya tidak ada ruh satupun. Setiap ratusan meter sinyal di handphone mulai menghilang garis demi garis hingga tidak ada sinyal sama sekali. Sesampainya di rumah kepala sekolah, saya disambut dengan candaan hangat, makan malam dan dipersilakan istrirahat agar esok hari dapat diperkenalkan dengan siswa-siswi sekolah. Keesokan hari saya ke sekolah dan bertemu dengan wajah-wajah haus ilmu, rindu pendidikan yang bermutu. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, saya dan siswa, masyarakat sudah menyatu bak keluarga.

Teupah Selatan tempat saya bertugas sebagai guru SM3T adalah satu dari sekian banyak daerah di pulau ini yang menjadi saksi bisu ganasnya terjangan tsunami pada 2004 yang lalu. Bahkan sekolah tempat saya mengabdikan diri mendidik anak-anak nusantara ini berdiri kokoh di tempat yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari tepi pantai dan hanya sekolah ini satu-satunya bangunan yang ada, sebab beberapa kilometer radius kiri dan kanan sekolah hanya berdiri pohon-pohon bersanding sisa-sisa runtuhan rumah penduduk yang diterjang gempa serta tsunami. Tepat di samping sekolah berdiri masjid yang sudah tak terpakai, merupakan saksi bisu ganasnya terjangan tsunami, satu-satunya bangunan yang masih bertahan.

Kondisi Sekolah dan Salah Satu Desa di Kecamatan Teupah Selatan pasca Tsunami

 

Beberapa desa seperti Sineubuek, Ulul Mayang, Kebun Baru, Alus-Alus, Badegong, dan Latiung yang berada di bibir pantai merupakan desa-desa di kecamatan Teupah Selatan adalah permukiman penduduk yang ramai dahulunya. Anak-anak bermain di tepi pantai dan di sekolah. Masjid, perkampungan, kantor desa, dan fasilitas lainnya ada di sana. Namun, kini beberapa wilayah di bibir pantai desa tersebut seperti kampung mati sisa amukan gempa dan tsunami 2004 silam. Di kecamatan inilah saya meniti kehidupan selama setahun. Beberapa meter dari tepi laut yang ditelusuri hanya mempertontonkan bekas-bekas reruntuhannya saja. 26 Desember 2004, debur ombak terdengar jelas dan menghancurkan keheningan pagi pada saat itu. Pantai yang dulu ramai dipakai untuk bermain anak-anak juga mengirimkan air yang berwarna hitam pekat dan langsung menyeret harta benda mereka, seketika itu fenomena alam ini menghancurkan keceriaan anak-anak pada saat itu..

Sebenarnya, jauh sebelum saya menapaki Kabupaten Simeulue, saya sudah memiliki rasa penasaran yang amat besar. Penasaran tentang apa? Yang jelas tentang ganasnya gempa bumi Aceh dan tsunami di lepas Samudera Hindia pada 26 Desembr 2004 silam. Rasa penasaran terus menggelayut di dalam benak saya, bagaimana bisa penduduk pulau ini bertahan dengan terjangan tsunami yang rata-rata tingginya saat itu mencapai 10 meter, bagaimana bisa pulau ini tidak tenggelam sementara ianya bertetangga dekat dengan episentrum gempa yang guncangannya luar biasa hebat, dan yang paling mengganggu fikiran sekaligus menambah kekaguman saya adalah bagaimana bisa pulau dengan status setengah terisolasi dan tertinggal serta minim teknologi pada saat itu menjadi daerah paling rawan dengan korban paling sedikit sementara puluhan ribu penduduknya bermukim tak jauh dari bibir pantai?. Banyak tulisan-tulisan sejarah yang menceritakan tentang Kabupaten di lepas samudera Hindia ini, namun hati tetap bergumam bahwa jawaban dari seluruh pertanyaan yang menggelayut tersebut harus datang dan bersumber dari saksi mata yang merasakan langsung detik demi detik terjangan bencana alam mahadahsyat di abad 21 tersebut.

Adalah Bu Zainab (46) yang menjadi narasumber saya selama tinggal di Simeulue. Saya mengetahui semua cerita tentang dahsyatnya amukan tsunami dari beliau.

“Dulu, ngeri kali ombaknya tu, Bar” Zainab memulai cerita dengan logat Simeulue memberitahukan ganasnya tsunami saat itu.

Darinya saya mendengar kisah bencana hebat yang paling menggemparkan dunia saat itu. Dengan penuh rasa penasaran saya mengorek semua informasi seputar pertanyaan yang terus bergelayut dalam otak saya.

Bu Zainab menuturkan saat bencana hebat tersebut terjadi, suaminya yang saat itu masih menjadi Geuchik (Kepala Desa) memeriksa rumah, sebab pagi itu anak-anak mereka masih tertidur did lam rumah sementara mereka tengah memanen kelapa. Setelah memastikan anak-anak mereka selamat karena runtuhan rumah mengarah keluar, Pak Keuchik dengan cekatan pergi ke pantai untuk melihat apakah ada keganjilan. Ternyata sesampainya Pak Keuchik ia melihat air laur surut secara tiba-tiba dan drastis, kontan saja ia berlari ke desa dan mengerahkan semua penduduk agar naik ke bukit/daerah yang lebih tinggi untuk menghindari tsunami.

“Smoooooooong, smooooong” Ucap Zainab menirukan teriakan suaminya saat itu memberitahukan kepada seluruh penduduk bahwa akan ada bencana dahsyat berhubungan dengan gelombang laut yang tinggi, dan seluruh pemuda juga bersama-sama meneriaki kata smong.

“Semua orang lari ke bukit, Bar” ucap Bu Zainab melanjutkan cerita. Ketika ditanya mengenai jumlah korban jiwa akibat amukan tsunami saat itu, Bu Zainab menjawab ada.

“Ada tu yang meninggal, di Kecamatan kita ini kalau gak salah ada 2 orang, yang satu sakit jadi gak bisa lari dia, yang satu lagi udah lari tapi ntah ada yang mau dia ambil di rumah dia tu pas mau lari lagi gak sempat jadi kena sapu ombak dia. Kalau se-Kabupaten kalau gak salah semua cuma 7 orang yang meninggal kena gempa sama tsunami, Bar” lanjut Bu Zainab.

Bu Zainab menuturkan kenangannya saat itu dari ketinggian bukit melihat gelombang raksasa datang dari tengah laut, hitam dan pekat. “Ngeri kali kalau liat air tsunami tu datang, hitam pekat, kencang kali arusnya. Habis semua di sapu sama ombak tu, sekolah kita habis disapu, cuma masjid tu yang gak hancur”, tuturnya sambil mengenang.

 Dari cerita Bu Zainab, betapa dahsyat pengaruh kata “smong” bagi penduduk.

 

--- Smong, Local Wisdom ala Simeulue Ate Fulawan ---

Setiap wilayah punya karakteristik masing-masing termasuk dalam hal kearifan lokal (local wisdom). Simeulue, kabupaten ini terkenal dengan sebutan Simeulue Ate Fulawan (Simeulue Berhati Emas). Sepertinya filosofi berhati emas yang tersemat pada kabupaten yang memisahkan diri dari Aceh Barat tahun 1999 ini tidaklah berlebihan, terlebih dengan kemampuan mereka dalam melakukan mitigasi bencana secara mandiri dan turun temurun.

Ternyata istilah smong bukanlah istilah yang timbul dan diingat begitu saja tanpa sejarah di baliknya. 108 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1907, tsunami penah melanda pulau Simeuue yang didahului dengan gempa bumi kuat. Pada saat itu, setelah terjadinya gempa besar, air surut mendadak sehingga ikan-ikan terdampar di pantai dan memancing penduduk untuk menguti ikan-ikan yang terdampar. Namun, ternyata tak lama setelah itu ombak tinggi datang menderu-deru menyapu penduduk. Korban jiwa banyak, harta benda lenyap, rumah hancur, dan banyak yang kehilangan sanak keluarga mereka. Mereka yang selamat dalam peristiwa itu lantas menjadikannya sebagai pelajaran hidup dan disampaikan kepada anak cucu mereka secara turun temurun melalui lagu-lagu pengantar tidur atau masyarakat menyebutnya dengan nandong.

Berikut bait demi bait nandong yang dijadikan lagu oleh penduduk.

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)

Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)

Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)

Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)

Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)

Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)

Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)

 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 

Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)

Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)

 Maheya mihawali…(Segeralah cari)

Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)

Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)

Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)

Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).

 

Nandong tesebut ratusan tahun bertahan hingga sekarang di bumi ate fulawan (Simeulue), jauh dari sentuhan teknologi pendeteksi dini tsunami, namun korban yang ada amatlah sedikit jika dibandingkan dengan wilayah terdampak yang lain. Sungguh sebuah aplikasi local wisdom yang mendobrak nilai logika teknologi namun menggugah.

Syahril (45), staf tata usaha di sekolah tempat saya mengajar menuturkan kalau ia semasa kecil sering dinyanyikan nandong smong oleh ibunya, setiap tidur selalu dilantunkan.

“Udah mendarah daging nandong ssmong sama kami pak Akbar. Bukan di kecamatan kita aja nandong tu dilagukan semua sudut Simeulue ini  menandong smong” Ucapnya.

Ternyata memang itulah kunci mitigasi sederhana berbasis kearifan lokal masyarakat Simeulue yang sangat membuat saya tercengang.

Satu ketika bulan Desember 2013 saya bersama seorang teman berkunjung ke ibukota Sinabang, berniat beristirahat lalu tidur-tiduran di Masjid Taqwa Sinabang. Saat dalam posisi telungkup tiba-tiba guncangan gempa terasa lumayan kuat, dan saya dengan teman berlari keluar berteriak-terik memberitahukan ada gempa.

“gempa, gempa” teriak saya sambil berlari cemas.

“Kenapa nak? Udah gak apa-apa itu, biasa itu, gempa kecil tu” ucap seorang ibu penjual goring pada saya. Benar saja, ternyata saya dan teman saja yang panik sementara penduduk lokal beraktifitas seperti biasa saja.

“nanti ada tsunami buk” Tanya saya lagi, “nggaklah, linon kecil itu nak oy, akduon smong tek ere” ucapnya dalam bahasa Simeulue Devayan yang artinya “gempa kecilnya itu nak, tak ada lah tsunami di sini”. Sekejap saya bergumam dalam hati hebat sekali penduduk di pulau ini, mereka tau bagaimana gempa besar dan kecil serta potensinya dan cara menyelamatkan diri.

 

--- Pelajaran Mitigasi Bencana ---

Sungguh sangat menarik kebiasaan masyarakat Pulau Simeulue, mereka membaca alam sebagai pertanda akan terjadinya bencana dahsyat. Selain itu juga mereka memiliki warisan yang sangat berharga dan amat sangat bernilai tinggi, yakni kearifan lokal. Smong dan kesigapan mereka dalam mengantisipasi jatuhnya banyak korban jiwa sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua bahwa gempa besar, air surut tiba-tiba adalah sebuah pertanda akan terjadinya gelombang air laur besar yang kita juluki sebagai tsunami. Kearifan lokal tersebut adalah buah nyata dari “Experience is the best teacher”, kearifan lokal ini sudah bertahun-tahun sebelum gempa Aceh desember 2004 hadir. Bahkan Jepang dengan kemajuan teknologinya, kemutakhiran sistem peringatan dininya, tak mampu membendung puluhan ribu nyawa yang melayang, bahkan gempa tsunami Jepang terjadi pada 2011, tujuh tahun setelah Gempa dan tsunami dahsyat Aceh yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran.

Memeriksa dan menyelamatkan diri dari guncangan gempa, menyelamatkan diri saat ada kejadian surut air laut yang drastis, serta menjadi “alarm hidup” sebagai sirine adalah sebuah keajaiban local wisdom Simeulue sebagai Pulau Berhati Emas yang harus dijadikan pembelajaran bagi seluruh penduduk Indonesia. Sebab negeri ini memiliki 28 wilayah rawan gempa dan tsunami terbentang dari barat hingga timur dan seharusnya belajar dari indahnya mitigasi ala Bumi Ate Fulawan.

 

Oleh: Muhammad Akbar

(Jl. Imam Bonjol G. Amal No.24, P. Brandan Langkat Sumatera Utara. Guru SMA Tunas Baru Babalan, 082277176651. akbarasiageografi@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun