Mohon tunggu...
Muhammad Akbar
Muhammad Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Citizen Journalist (JURU TULIS LEPAS)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menjejak Simeulue, Menikmati Indahnya Mitigasi Bencana ala Bumi Ate Fulawan

11 Juli 2015   13:09 Diperbarui: 11 Juli 2015   13:30 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu ketika bulan Desember 2013 saya bersama seorang teman berkunjung ke ibukota Sinabang, berniat beristirahat lalu tidur-tiduran di Masjid Taqwa Sinabang. Saat dalam posisi telungkup tiba-tiba guncangan gempa terasa lumayan kuat, dan saya dengan teman berlari keluar berteriak-terik memberitahukan ada gempa.

“gempa, gempa” teriak saya sambil berlari cemas.

“Kenapa nak? Udah gak apa-apa itu, biasa itu, gempa kecil tu” ucap seorang ibu penjual goring pada saya. Benar saja, ternyata saya dan teman saja yang panik sementara penduduk lokal beraktifitas seperti biasa saja.

“nanti ada tsunami buk” Tanya saya lagi, “nggaklah, linon kecil itu nak oy, akduon smong tek ere” ucapnya dalam bahasa Simeulue Devayan yang artinya “gempa kecilnya itu nak, tak ada lah tsunami di sini”. Sekejap saya bergumam dalam hati hebat sekali penduduk di pulau ini, mereka tau bagaimana gempa besar dan kecil serta potensinya dan cara menyelamatkan diri.

 

--- Pelajaran Mitigasi Bencana ---

Sungguh sangat menarik kebiasaan masyarakat Pulau Simeulue, mereka membaca alam sebagai pertanda akan terjadinya bencana dahsyat. Selain itu juga mereka memiliki warisan yang sangat berharga dan amat sangat bernilai tinggi, yakni kearifan lokal. Smong dan kesigapan mereka dalam mengantisipasi jatuhnya banyak korban jiwa sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua bahwa gempa besar, air surut tiba-tiba adalah sebuah pertanda akan terjadinya gelombang air laur besar yang kita juluki sebagai tsunami. Kearifan lokal tersebut adalah buah nyata dari “Experience is the best teacher”, kearifan lokal ini sudah bertahun-tahun sebelum gempa Aceh desember 2004 hadir. Bahkan Jepang dengan kemajuan teknologinya, kemutakhiran sistem peringatan dininya, tak mampu membendung puluhan ribu nyawa yang melayang, bahkan gempa tsunami Jepang terjadi pada 2011, tujuh tahun setelah Gempa dan tsunami dahsyat Aceh yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran.

Memeriksa dan menyelamatkan diri dari guncangan gempa, menyelamatkan diri saat ada kejadian surut air laut yang drastis, serta menjadi “alarm hidup” sebagai sirine adalah sebuah keajaiban local wisdom Simeulue sebagai Pulau Berhati Emas yang harus dijadikan pembelajaran bagi seluruh penduduk Indonesia. Sebab negeri ini memiliki 28 wilayah rawan gempa dan tsunami terbentang dari barat hingga timur dan seharusnya belajar dari indahnya mitigasi ala Bumi Ate Fulawan.

 

Oleh: Muhammad Akbar

(Jl. Imam Bonjol G. Amal No.24, P. Brandan Langkat Sumatera Utara. Guru SMA Tunas Baru Babalan, 082277176651. akbarasiageografi@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun