" Jawaban samar itulah yang menyebabkan fitnah agung ini"
-" Beliau berkata tentang kekuasaan Alloh yang tanpa batas, akan tetapi mereka menafsirkan dengan mengatakan bahwa Suhrowardy memperbolehkan pandangan "Boleh saja tercipta nabi lagi setelah diutusnnya nabi akhir zaman.... mereka bersepakat menuliskan laporan tentang beliau, dan mengirimkannya pada ananda, bilamana ananda tidak segera menindak, dibawalah pengadu-pengadu ini ke hadapan baginda".
Sultan berkata:
" Ini bukan hanya sekedar pengaduan, ini merupakan awan fitnah yang tersemai di bumi, dan sudah tugasku untuk memberangusnya sebelum kita semua binasa. Dengan dalih itulah aku mendatangkan ia ke sini.Sungguh kau telah terperosok pada satu kesalahan besar pada zaman yang tidak mau memaafkan kesalahan."
Al Dzofir berkata:
" Berjanjilah pada ananda, ayahanda... ayahanda tidak akan memepercayai pengaduan mereka... laki-laki itu telah merubah hidupku, menjadikanku dapat melihat alam raya tidak sebagaimana hari-hari sebelum bertemu dengan beliau. Jangan renggut hidupnya, ayahanda...
Sultan berkata:
" Kecil kemungkinan aku mampu berjanji padamu, anakku..."
Keheningan melanda, masing-masing terpekur, memasuki alam pikiran lawan bicaranya, mengulang kembali pertimbangan masing-masing. Al Dzofir berpikir " Jikalau tidak mampu menepati janji pemberian suaka pada laki-laki ini, kekuasaan apakah yang ia miliki? mana fungsinya?". Sementara sang Sultan berpikir bahwa " Anaknya yang masih terpejam matanya akan menginjakan kaki pada sarang kehancuran, para masyayikh tak dapat mencegah dengungan-dengungan itu kecuali setelah menjatuhkannya dari atas singgasana".
PERTEMUAN
Pada saat Carcush menyaksikan sang pesakitan, perasaan pertama yang terlintas adalah: "orang ini tidak semestinya mendapatkan penderitaan, tidak pantas baginya tahanan, tidak pula tembok-tembok, cukuplah baginya ceruk kecil yang ia tempati sampai membusuk, tak berani ia keluar darinya barang satu langkahpun". Tetapi sewaktu sang Syeikh mengambil tempat, penjaga melepaskan borgol dan penutup mata, wajahnya yang lelah terlihat nyata, butiran-butiran pasir yang yang melekat di jenggotnya jatuh berguguran, seberkas kilat terpancar dari matanya yang baru terbuka, perasaan takut yang tak dapat dipahami merayap, menjalar di hati Carcush. Ia ingin menyambutnya sembari menunnduk, menggeleparkannya, kemudian menyepaknya sembari berbungah, mencicipkannya kepahitan penjara semenjak hari pertama.Tetapi jiwanya menolak kehadiran orang yang ada di hadapannya. Ia memegang tembok pada jalan keluar yang tak lekas lunak, tak ia sentuh bebatuannya sesudah itu, dan takkan berlama-lama dihadapannya...