Selayang pandang. Saat itu seorang tawanan sedang melewati gurun pasir. Dibalik punggungnya tersembunyi dataran Palestina dan sebelumnya baju kebesaran tanah Syam, meninggalkan kebinasaan dan pohon-pohon zaitun. Sepanjang mata memandang hanya pasir-pasir gersang dan bebatuan renta, kesemrawutan alami, tergambar ufuk menyerupai garis tercerai berai. Ia berjalan didepan dengan mengendarai bighol, dibelakangnya pengawal mengikuti di atas kuda-kuda mereka dengan pandangan waspada. Umurnya baru separuh baya. Tetapi, keletihan dan kekurusan merubah roman mukanya yang perkasa. Jenggotnya memanjang, bajunya compang-camping, bau busuk menyembul dari gombal yang melekat d tubuhnya. Ia datang dari penjara yang menghadap arah lain, tidak ada yang memisahkan keduanya kecuali padang pasir ini. Namun tak satupun pengawal yang melihat seberkas senyum keridoan yang tersungging tersembunyi di balik wajahnya, sudah barang tentu dengan lapar yang melilit dan borgol yang mengiris pergelangan tangan. Ia bahagia dengan perjalanan yang teramat sangat berat itu, suatu perjalanan yang mengantarkan pada ujung ketiadaan. Seakan nyawanya menggejol-gejol merindukan cakrawala baru, dimana ketenangan dan kebebasan tersedia didalamnya. Jasadnya seperti bintang terang d langit, setiap sisi yang dituju memisahkan diri, dalam perjalan abadi menuju sumber cahaya ilahy dan ma'rifat
Semenjak beranjak dewasa dikota SUHROWARD, ditengah-tengah pegunungan Persia, ia mulai mengawali perjalanan kehidupannya itu, melewati berbagai dataran dan tanah-tanah tak berpenghuni. Tiada ia berhenti kecuali pada awal masjid yang ia jumpai. Selang beberapa waktu orang-orang tertarik, mereka berombongan sepakat melakukan perjalanan, tiada yang di pakai kecuali secarik kain wol, tiada makan kecuali sedikit dari makanan remeh temeh, dan pada wajah-wajah mereka terpancar lingkaran cahaya takut terhadap Alloh.
Namun gurun yang ia lewati sekarang berbeda, tak pernah terlihat padanan ancaman kebinasaan yang mengintai, disitu kaum nabi musa terlunta-lunta selama empat puluh tahun atau lebih, tetapi ia yakin akan sampai pada batas alam, sewaktu tampak jelas dihadapannya pegunungan QOf*, sebelas puncak mengitari dari segenap penjuru. Tiada mungkin orang menjelajahinya kecuali setelah jiwa terobati dan terlepas dari kotoran-kotoran yang membelenggunya dalam alam raya fana ini.
Dari arah belakang terdengar suara salah seorang pengawal memanggil " Wahai syaikh Suhrowardy... kita akan berhenti dan bermalam di sini... "
Lebih baik berjalan di dinginnya malam dan beristirahat pada terik siang, tetapi siapa yang mau mempertaruhkan diri dengan berjalan di gelapnya gurun ini, matahari sebentar lagi terbenam, tiada yang diketemukan kecuali beberapa pohon bidara yang berserakan. Tak layak huni, tidak sepatut rumah dalam melindungi, tetapi cukup untuk memberikan rasa aman seseorang ditengah hamparan alam terbuka ini.
Para pengawal membantu syeikh turun, membuka borgolnya, dan salah seorang darinya cepat-cepat mengambil kesempatan turunnya malam, memberanikan diri memandang wajah syeikh Suhrowardy. Kemudian ia berkata pada beliau:
" Kami diperintahkan untuk memindahkan tuan ke penjara lain, bukan untuk membunuh dengan menggerogotkan kelaparan, sudilah kiranya menerima sebagian dari bekal kami, tuan... "
Beliau berkata:
" Semoga di berkahi, wahai anakku.... cukuplah bagiku seiris roti dan seteguk air".
Seorang penjaga menjawab:
" ini tidak mencukupi untuk perjalanan seberat ini "
Beliau berkata: