Seperti biasanya Sultan Solahudin datang setelah sholat ashar. Terik matahari sudah agak redup. Gegap gempita pekerjaan masih terdengar di lokasi pembangunan. Mereka paham betul bahwa pada saat ini adalah waktu kunjungan rutin sang Sultan. Saat itu pula Bahauddin Carcush pejabat yang bertanggung jawab atas pembangunan benteng menaiki menara pengawasan, berjaga-jaga bilamana mereka para pekerja bersiap mengadakan kekacauan bersama tawanan-tawanan romawi dan pekerja-pekerja yang bersekongkol memberontak.
Sudah menjadi kebiasaannya pula, beliau selalu datang sendirian. Menaiki gunung Muqotom dengan mengendari kudanya yang dapat berlari secepat kilat. Sejurus kemudian beliau sampai. Beliau berdiri, termenung, memikirkan ratusan pekerja yang bekerja dari terbit fajar sampai matahari terbenam, batang-batang bata yang belum lagi meninggi, pekerja-pekerja, penggali tanah, tukang batu, semuanya dalam keadaan pucat pasi. Pandangan Sultan menelanjangi wajah-wajah mereka, raut-raut wajah yang tersembunyi di balik topeng berdebu putih.
"Apakah wajah-wajah yang lelah itu mampu membuat benteng yang kokoh?'
"Apakah kehawatiran yang tergurat pada pandangan mata mereka akan segera sirna? terbebas dari serangan- serangan musuh untuk selamanya?".
Musuh tak terhitung, Romawi di utara, sisa-sisa dinasti Fathimiyah di selatan, dan tentara-tentara penghisap datang dari dataran Asia jauh.Tidak akan ditemukan tempat berlindung yang aman sebelum benteng ini selesai, tapi kapan?
Para pekerja tidak henti-hentinya memecah batu dari gunung Muqotom, sampai sisinya tak dapat di pandang, penuh dengan orang, seperti mata yang ketakutan, kemudian mereka menariknya, menurunkan pada kaki bukit. Sebelum mereka sampai, ada kelompok lain yang menyambut untuk membentangkan dan merobohkannya.
Di sisi lain di arah sungai Nil, rombongan-rombongan bighol hilir mudik mengangkut pemancang, lumpur-lumpur mengeras yang diambil dari tempat-tempat peribadahan dinasti Fir'aun sebelum para pengangkut membawanya dari dasar tanah. Tumpukan batu merubah wajah benteng, dan nyata, benteng dalam proses penyempurnaan.
Bahauddin Carcush bersegera menghadap, berkelebat melompati bebatuan dengan postur tubuhnya yang pendek dan badan memerah terkena debu. Ia membungkukan badan sebagai tanda hormat pada sang Sultan. Sejurus kemudian merangkai laporan hasil pelaksanan pekerjaan hari ini. Ia menunjukan tawanan-tawanan Romawi yang sedang menggali pondasi, tukang pancang yang memasang soko guru, para petani yang sedang menggali sumur yang dalam, agar aliran airnya menyambung dengan air sungai Nil. Akan tetapi sang Sultan tidak terlalu memperhatikannya, malah beliau berkata kepadanya dengan suara terputus-putus:
" Aku ingin kau membangun penjara"
Carcush tak dapat mencegah rentetan kata yang mengusik hatinya.
" Penjara.... tentu tuanku, akan saya laksanakan. Akan tetapi semuanya belum beres, benteng-benteng, tempat perlindungan, bedeng-bedeng, dan..... "
Sultan bersikeras: " Bangunlah dimana saja.... dahulukan dari yang lain!"
Tiada ia memiliki kuasa kecuali membungkuk taat. Sang Sultan memutar kekang kudanya beringsut pergi. Carcush berdiri dalam kegalaun. Ia berbisik:
"Penjara yang bagaimana, pesakitan mana yang akan meringkuk didalamnya, ah, yang pasti sang Sultan akan menghadapi musuh besar"
Dengan cepat Carcush mengumpulkan asisten-asistennya, mereka mengembalikan kertas-kertas, kulit pohon bersketsa benteng dan menentukan tempat mana yang dijadikan tahanan baru.
SEORANG TAWANAN