Aktivitasku sehari-hari disaat Bimo tidak mengajakku jalan-jalan, aku bisa menulis apa saja sepanjang hari. Aku menulis novel, carpen, juga puisi di sebuah aplikasi penulisan.
Memang kegiatan itu belumlah menghasilkan uang, tapi untuk mengasah kemampuan dalam menulis aku pikir sudah cukup membantu. Aku juga bisa menjalin pertemanan dengan banyak orang.
Sekarang aku sudah bisa melihat, dengan begitu aku lebih mudah menekuni bidang pekerjaan yang aku sukai, tanpa pernah berpikir lagi untuk mencari pekerjaan, atau bekerja disebuah perkantoran.
Apa yang dikatakan Bimo dalam memotivasi aku membangun kemampuan sendiri, selalu aku ingat, betapa dia begitu jauh mempersiapkan diri aku untuk menghadapi realitas hidup yang tidak pernah aku duga.
"Mata kamu boleh buta Aini, tapi hati kamu jangan buta, karena dengan hati yang baik, mata batin kamu, akan terang melihat dunia, banyak orang bisa melihat, tapi mata batinnya buta, sehingga dunia yang begitu indah, menjadi gelap dalam pandangannya"
Itulah yang aku takutkan setelah bisa melihat, aku takut kehilangan mata batin yang selama usiaku sudah sangat aku jaga. Dengan mata batin itulah aku mudah peduli dengan sesama, aku bisa menimbang rasa terhadap orang lain yang nasibnya kurang beruntung, meskipun nasib aku sendiri juga tidak lebih beruntung, namun aku mensyukuri sekali itu sebagai nikmat-Nya.
Suatu kali kami sedang duduk di sebuah taman kota, tiba-tiba aku mendengar seseorang yang sedang menyanyi, kalau mendengar suaranya, dia seorang lelaki. Suaranya begitu merdu, lagu yang dinyanyikan juga sangat menyentuh perasaan. Aku tergugah dengan suaranya;
"Mas itu yang nyanyi, pengamen atau bukan?
"Pengamen Aini, dia dituntun anaknya, dia seorang tuna netra"
"Subhannallah ya mas, Tuhan anugerahkan kelebihan pada dia"
"Ya Aini, dan dia tahu apa yang menjadi kelebihannya, itu lebih luar biasa lagi"