Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Dia tidak menghiraukanku. Darah segar menetes perlahan dari ujung telunjuknya. Dia meraih kuas dan mewarnai bibir lukisan itu dengan warna merah darah. Aku benar benar tak mengerti. Sebenarnya apa yang ada di benak para seniman ketika dirinya sedang asyik menyalurkan bakatnya. Di mataku yang terlihat hanya sebuah totalitas tanpa batas dari seorang Panji untuk karyanya.

      Sesaat setelah itu dia segera ke belakang membersihkan darah yang masih menetes dari ujung telunjuknya. Kuamati lagi lukisan perempuan di hadapanku. Diantara lukisan yang lainnya lukisan ini tampak sangat magis. Benar benar seperti lukisan hidup. Atau perasaan paranoidku saja yang membuatnya terlihat magis.

      “Lho, rupanya ada tamu…” bibi Nun, ibunya Panji sudah berdiri di belakangku. Jantungkuku serasa lompat seketika saat itu. Aku jadi lemas, wajahku pucat pasih.

      Penyakit lamaku kumat gagap seketika saat gugup dan salah tingkah. Bibi Nun yang tampak lembut dan bersahaja tersenyum. Senyumnya tak jauh berbeda dengan yang dimiliki si Panji. Aku memandangi matanya yang tedu penuh kasih. Tiba tiba muncul wajah ibu dan ayah dibenakku. Aku merindukan mereka yang telah lama aku tinggakan di tempat kelahiranku. Bibi Nun mendekati lukisan Panji yang baru jadi itu kemudian dia menunjuk lukisan itu padaku. “Pasti Panji baru saja menyelesaikannya..” tebak beliau.

      Aku mengangguk mengiyakan.

      “Nak Pancha tahu tentang lukisan ini?”

      Aku menggeleng, “Panji tidak pernah bercerita padaku, bibi” sahutku kemudian.

      “Panji sering sekali mengabadikan wajah Aura dalam sebuah lukisan”

      “Siapa itu?” tanyaku memburu.

      “Sepupunya Panji” bibi Nun menawab cepat. Sejak kecil Aura tinggal di rumah ini bersama keluarga bibi. Panji sangat menyayanginya seperti saudaranya sendiri. Dua bulan yang lalu Aura menghadap yang kuasa. Anakku Panji sangat sedih, tetapi dia pandai menyembunyikan kesedihannya dari bibi”.

      Aku menyimak cerita bibi Nun dengan seksama. Hebatnya Panji tidak pernah berhasil kutebak misteri yang dia sembunyikan dalam dirinya. Sosoknya yang ramah dan murah senyum ternyata menyimpan luka yang sangat dalam. Dan dia pandai menyembunyikannya dengan sempurna. Dari kisah Dutta dan Panji aku menarik benang merah bahwa lelaki juga manusia yang memiliki hati dan airmata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun