Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Nakula partner yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi. Sosoknya yang tenang dan pemikir membuatnya lebih peka dengan situasi.

      Momen yang aku nantikan selama sepekan sudah tiba, malam Minggu. Karena aku akan menyaksikan penampilan Dutta. Aku datang lebih awal daripada minggu kemarin memanfaatkan waktu untuk menulis. Tak berbeda dengan seminggu yang lalu, pelukis bertopi pet yang khas itu lebih awal duduk di bangku sebelah dengan kanvas dan kuas beserta cat yang serbaneka ragamnya. Pemandangan yang asyik. Aku mengamatinya dari bangku tempatku duduk. Dia terlihat begitu antusias menikmati setiap liukan kuas di tangannya. Sorot makanya terlihat berbinar binar.

      Beberapa pengunjung juga menghampiri dan mengamati lukisannya. Dia dengan ramah mempersilakan duduk dan memamerkan lukisan yang lainnya dengan senyumnya yang ramah. Tapi.. menurutku ada ganjil dengan pelukis bertopi pet itu, kenapa dia selalu diam saja? Aku menjadi penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Ketika dia kembali melukis, aku menghampirinya. Rasa penasaran yang membuatku melangkahkan kaki menuju ke arahnya.

      “Permisi.., bolehkah aku melihat hasil lukisanmu?”

      Pelukis itu menyambutku dengan senyum yang ramah dan bersahabat. Dia memperlakukan hal yang sama seperti pengunjung yang tadi. Mempersilakanku duduk dan memamerkan lukisannya. Sekarang aku dapat melihat lukisannya dengan lebih jelas. Aku tidak begitu faham tentang karya seni yang satu ini, pemahamanku tentang sebuah lukisan masih sangat minim. Pada setiap lukisan yang bertema perempuan dia beri tulisan di bawahnya, aura-ku. Menurutku semua lukisannya bagus, unik, detail, intinya perfect lah…

      “Lukisanmu bagus. Maukah kamu menjelaskan tentang lukisan ini padaku?” tanyaku.

      Pelukis itu tetap dengan senyum abadinya yang khas, tapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia menulis sesuatu dan menyerahkan memo kecil padaku. Aku meraihnya dan membaca tulisannya, “Maaf aku Tuli. Silahkan ulangi ucapanmu disini..”

      Aku terperanjat. Diam. Sepertinya ada koneksi saraf kognisi yang error di otakku. Kemudian pelukis itu menyodorkan memo kecil lagi padaku. Aku baru menyadari dan keadaan kembali baik baik saja. Aku membaca memonya lagi, “Jangan melamun, namaku Panji..” tulisnya.

      “Ouhh.., maaf” aku menjadi salah tingkah dan gugup. Bingung harus berbuat bagaimana. Pelukis itu menyadari kebingunganku, dia tertawa kecil menertawakan wajahku yang bingung. Aku menghindari gugup dengan ikut tertawa juga. Kami tertawa bersama sama, sungguh pengalaman yang unik.

      Aku meraih memo dan pena di tangannya, “Namaku Pancha, aku ingin berteman denganmu. Bagaimana agar aku bisa berkomunikasi denganmu..?”

      “Jika bersedia datanglah ke pertunjukan ini minggu depan. Aku akan mengajarimu..” balasnya di memo itu. Kemudian dia mengemasi lukisannya dan melipat kanvas serta memasukkan kuas dan cat ke dalam ranselnya. Dia kembali melempar senyum padaku dan beranjak pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun