6. Kesenjangan Infrastruktur dan Teknologi
Penerapan kebijakan pajak barang mewah yang efektif membutuhkan dukungan infrastruktur dan teknologi yang memadai untuk memantau transaksi dan mengidentifikasi barang yang termasuk dalam kategori mewah. Di beberapa daerah, keterbatasan infrastruktur ini dapat menjadi hambatan, sehingga menciptakan potensi ketidakseimbangan dalam implementasi kebijakan di tingkat nasional.
7. Potensi Penurunan Konsumsi Barang Mewah
Kenaikan PPN dapat mengurangi konsumsi barang mewah, terutama untuk kategori barang tertentu yang elastis terhadap perubahan harga, seperti perhiasan atau kendaraan premium. Hal ini dapat berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti distribusi dan ritel, yang mengandalkan penjualan barang mewah untuk menopang pendapatan.
8. Tantangan dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum
Implementasi kebijakan ini membutuhkan pengawasan yang intensif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran. Namun, tantangan seperti keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya koordinasi antarinstansi, dan potensi korupsi dalam pengawasan dapat menghambat keberhasilan kebijakan ini.
9. Ketimpangan Akses Informasi
Kurangnya sosialisasi mengenai kebijakan ini dapat menciptakan ketimpangan informasi, baik di kalangan pelaku usaha maupun konsumen. Pelaku usaha kecil atau menengah yang bergerak di segmen barang premium mungkin mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan tarif pajak, sehingga mereka membutuhkan dukungan dan pendampingan dari pemerintah.
10. Ketergantungan pada Barang Impor
Sebagian besar barang mewah di Indonesia merupakan produk impor. Kenaikan tarif pajak pada barang-barang ini dapat memperburuk ketergantungan terhadap barang impor, terutama jika industri dalam negeri belum mampu menyediakan alternatif barang premium dengan kualitas serupa. Hal ini memerlukan kebijakan tambahan untuk mendukung pengembangan industri barang mewah lokal.
11. Pengaruh pada Investasi