"Ah, sudahlah. Kenapa juga aku harus mikir mereka?"
Aku mengelak dari rasa bersalah. Kemudian, kembali menyusuri jalan, menikmati angin yang selalu menjadi sahabatku. Embusan angin mampu membawa pergi bermacam perasaan yang sering menggangguku. Jalanan yang kulewati telah ramai, kendaraan berseliweran. Langkahku berhenti saat aku mendengar suara yang sangat kukenal.
"Kang Waji!"
Di seberang jalan, aku melihat seorang gadis cantik. Sepertinya, aku pernah mengenalnya.
Siapa dia? Wajahnya kok mirip Murni, istri pertamaku yang sudah meninggal? batinku bertanya.
Untuk mengurangi rasa penasaran, aku pun menyeberang jalan. Terdengar sebuah teriakan peringatan, tapi aku taklagi mendengar.
* * *
"Kang Waji, maafkan Asih, ya," ucap seorang wanita yang menatapku dalam deraian air mata.
Aku mencoba membuka sedikit netra yang terasa berat. Terlihat seorang wanita menangis, tanpa sanggup mengingat siapa dia.
"Kamu siapa?" gumamku.
Buliran air semakin deras terurai dari mata lebar wanita itu. Tangan kiriku meraba kepalaku yang berbalut kain. Badanku terasa sakit semua. Pandanganku menatap ke atas, terlihat ada cairan menetes, selang, dan jarum yang disuntikkan di tangan.