Aku hanya membisu mendengarkan kemarahannya dan memandang kejengkelan adik perempuanku. Seringkali aku membuat marah orang-orang di sekitar, terutama keluarga. Sampai kapan aku terus begini. Adikku memandang jengah kebisuanku, dia segera berbalik keluar dari rumah. Membiarkan aku menatap lantai rumah yang kotor.Â
Lodeh rebung yang tidak pernah kusuka semenjak muda. Bagaimana bisa aku makan sayur yang kalau sudah tua akan berubah menjadi dinding rumah alias gedek. Apa-an?
Tidak kupedulikan kemarahannya. Silakan saja kamu marah, sudah tahu dari dulu aku tidak suka rebung, masih saja dimasakkan itu. Kutatap adik bungsuku yang mungkin telah terpaksa menampung kakak lelakinya ini. Bibirku menyeringai, tidak peduli dengan kejengkelannya.Â
Aku membawa kakiku melangkah keluar rumah. Saat melewati rumah adik bungsuku, terdengar isakan diselingi racauan.
"Keterlaluan dia, Mas. Aku sudah repot-repot memasak, tapi dia membuangnya di lantai. Tidak menghargai jerih payahmu sama sekali. Itu uang belanja 'kan hasil keringatmu. Kamu sudah bekerja keras untuk keluarga kita dan kakakku," keluh adikku terisak.
"Sudahlah, aku tidak apa. Aku ikhlas," ucap suami adikku dengan sabar.
"Tapi, Mas ...." Adikku ingin melanjutkan lagi.
"Sudahlah ...," hibur suaminya. Di akhir pembicaraan mereka, adikku masih terisak.
Kenapa juga aku mesti dengarkan mereka? Aku pun segera beralih, membawa kakiku yang berjalan agak pincang. Lidahku rasanya asam, ingin merasakan benda yang bisa mengeluarkan kepulan asap kalau dibakar. Sudah berapa hari aku tidak memanjakan bibirku dengan benda bernama rokok.
Mendingan aku ke rumah Slamet saja.
"Met! Slamet! Kamu di rumah?" teriakku saat di depan rumah kecil sederhana.