Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Lelakiku

3 Desember 2024   11:14 Diperbarui: 3 Desember 2024   11:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ada apa kamu teriak-teriak? Suamiku nggak di rumah!" Suara dan wajah istri Slamet seirama dalam satu kata 'sewot' saat tahu yang mencari suaminya adalah aku. Pandanganku menatap istri temanku yang sedang mencabut rumput di halaman. Tidak pernah sekalipun istri Slamet ini memperlihatkan raut muka ceria saat aku muncul. Sebenarnya, aku juga muak dan jengkel.

"Heh, Waginem! Wajahmu kalau sewot mirip sama rumput yang kamu cabuti," selorohku, langsung pergi tanpa melihat lagi bagaimana perubahan wajah Waginem. Namun, jika kulirik dari sudut mataku, raut mukanya malah makin memburuk.

Sekarang, aku mengalihkan tujuan ke rumah Boirin, temanku lainnya. Rumahnya nggak jauh dari Slamet. Hanya sekitar setengah kilo jaraknya. Kalau Boirin belum beristri, tapi biasanya si Emak judesnya minta ampun. Rumah sederhana yang ditempati Boirin terbuat dari bambu. Letaknya di tengah perkebunan yang selalu berganti tanaman. Kalau malam, sangat sunyi. Siang pun sepi.

"Rin! Boirin!" 

Halaman rumahnya hanya tampak ayam-ayam berkeliaran. Ada juga seekor kucing hitam peliharaan Boirin. Kucing itu sedang menikmati tidur siang di ranjang bambu yang biasanya dipakai Boirin dan aku berbincang. Aku mencoba memanggilnya lagi saat tidak ada tanda-tanda keberadaan temanku.

"Boirin! Kamu di mana!" Suaraku makin aku kencangkan. Kucing yang sedang dibuai mimpi pun terbangun olehku. Matanya dibuka dengan malas dan memandangku. Disaat aku masih saling menatap dengan kucing, tiba-tiba hidungku tersentuh oleh aroma khas makanan.

"Bukankah ini bau mi terkenal itu? Baunya seperti dari dalam rumah," gumamku.

Bau khas ini membawa rasa penasaranku untuk melangkah masuk ke rumah Boiri, tapi lewat samping rumah. Aku berjalan menelusuri jalan setapak kecil pinggir rumah, yang membatasi rumah Boirin dengan kebun jagungnya. Kakiku melangkah pelan, jangan sampai menginjak daun kering atau apa pun yang menimbulkan bunyi.

Saat mencapai dapur, aku mendengar suara.

"Rin, kamu jangan keseringan bergaul dengan lelaki itu. Badannya kotor, bau, tidak bekerja. Bisanya cuma meminta dan merepotkan orang. Kasihan Asih, dia sudah repot memasak untuk si kakak, tapi tanpa perasaan malah membuang makanan. Terkadang tidak dimakan. Padahal, kamu tahu sendiri suami Asih bekerja pagi sampai sore di sawah. Untuk menambah kebutuhan keluarga, suaminya terkadang ikut kerja di sawah orang lain," tutur Emak Boirin panjang lebar.

"Benarkah, Mak?" Boirin bertanya dalam nada tidak percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun