"Tetangganya Asih pada cerita. Mereka mendengar dan melihat sendiri."Â
"Mmm ... kalau begitu, biar nanti Boirin yang ngomong ke Waji, Mak."
Kudengarkan mereka bercerita banyak tentangku. Sementara reaksiku hanya diam dan menyeringai.
"Memang kamu siapa, Rin? Mau ngatur aku? Berani-beraninya kamu mau kasih aku nasihat," gumamku sinis.
Aku pun beranjak pergi. Meninggalkan orang-orang yang tidak mau menerima kehadiranku.Â
"Sudah cukup banyak aku menerima nasihat. Banyak pula garam yang sudah aku telan. Muak aku mendengarnya. Buat apa menasihati aku, nasihati saja diri kalian sendiri." Aku menggerutu sangat kesal. Kutendang kerikil tak bersalah yang membuat kakiku terpeleset.
"Mengapa kalian sukanya mengusik hidupku! Apakah kalian cukup nganggur?" geramku sambil mengusap pantat yang sedikit sakit karena membentur jalan berkerikil.
"Lagian ini jalan apa, sih, kok banyak kerikilnya? Apa yang kalian lihat, hah?" Aku berteriak di tengah racauanku pada anak sekolah yang melihatku terjatuh.
"Anak sekarang, lihat orang jatuh bukannya ditolong, malah dijadikan tontonan," omelku.
"Ka-ka-kami ingin menolong Bapak, tapi keduluan Bapak yang ngomel nggak jelas," ucap salah seorang bocah perempuan. Wajahnya terlihat gugup dan ketakutan. Dia segera menarik tangan temannya dan pergi meninggalkanku yang termangu dengan ucapan bocah tadi.
"Rupanya, masih ada yang berniat baik padaku," gumamku sambil memandang dua bocah yang telah menghilang. Ada rasa penyesalan dalam hati, mengapa aku harus berteriak pada anak kecil.