Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setetes Air Ujang

26 November 2024   09:50 Diperbarui: 26 November 2024   10:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                     

Di sebuah kamar yang masih benderang, diiringi musik malam, alunan suara merdu jangkrik saling bersahutan. Seorang bocah lelaki terlihat asyik bermain bersama sang kakek yang sedang membujuk agar mau tidur.

"Adek, sudah malam. Ayo tidur," bujuk si kakek. Bocah yang dipanggil Adek hanya menyunggingkan senyum, tapi jemarinya masih memegang mainan sambil menirukan suara mirip mobil. Kakek mengusap penuh kasih sayang pada cucunya.

"Adek belum mengantuk, Kek," rajuk si cucu. 

"Bagaimana kalau Kakek mendongeng?" bujuk kakek lagi. Adek menatap sorot mata  lembut sang kakek sambil berpikir, akhirnya dia menganggukkan kepala. Kakek pun menuntun Adek ke tempat tidur,  membaringkannya, dan akan menyelimuti tubuh cucunya. Namun, mendapat penolakan karena bocah kecil itu bersikukuh ingin duduk. Kakek tersenyum lembut sembari mengusap rambut legam cucunya.

Kemudian, dari bibir kakek mengalirlah sebuah cerita ....

*  *  *  

Di sebuah desa yang sejuk dan damai, bernama Desa Pucuk. Tersebutlah seorang bocah bernama Ujang, dia hidup bersama seorang nenek yang biasa dipanggil penduduk setempat dengan Nenek Uti. Ibunya telah meninggal saat Ujang baru berumur setahun. Hampir lima tahun Ujang diasuh sang nenek karena bapaknya yang bernama Kang Dadang harus bekerja di ibukota kerajaan.

Ujang adalah anak yang pintar dan rajin, setiap hari dia bangun pagi, membantu sang nenek untuk menyiapkan makanan yang akan dijual di warung. Walaupun perawakan Ujang kecil, tetapi dia sangat cekatan. Mondar-mandir dari dapur ke warung yang ada di depan rumah, mengambilkan yang dibutuhkan nenek. Ujang tidak pernah mengeluh capek, semuanya dijalani dengan gembira.

Nenek sangat bangga pada cucu satu-satunya yang selalu tersenyum, rajin, dan patuh. Dia selalu berkata, Ujang bantu apalagi, Nek. Banyak teman-temannya yang ingin mengajak Ujang bermain, tetapi selalu ditolak. Dia akan mengatakan sedang membantu nenek.

Pengunjung warung pun terkagum dan iba dengan sosok kecilnya. Keadaan yang membuat Ujang menjadi pekerja keras dan jujur dalam menghadapi hidup. Terkadang, Ujang pun ikut meladeni pembeli saat sedang ramai. 

Hingga di suatu siang yang panas, saat warung sepi dan sang nenek sedang salat. Ujang menjaga warung sendirian, terlihatlah seorang kakek menghampiri warung.

"Assalamualaikum," salam seorang tua berambut putih dengan setelan putih dan juga bersorban putih. Wajahnya bersih disertai mata yang begitu bening.

"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk, Kek. Kakek mau minum apa?" tanya Ujang dengan ramah.

Sang Kakek terpesona dengan keramahan Ujang. Dia tersenyum dan berjongkok di depan Ujang. Tangannya mengusap rambut dan pipinya. Perlakuan sang kakek membuat Ujang mundur gentar karena tidak mengenal kakek berbaju putih. Si kakek menatap mata bulat Ujang.

"Ada yang Ujang bisa bantu, Kek?" tanya Ujang lagi, walau suaranya agak bergetar takut. Dia melihat keringat bercucuran di wajah bersih sang kakek.

"Kamu tidak perlu takut cucuku. Kakek hanya ingin minum, tetapi tidak membawa uang," ujar si kakek dengan suara lembut. 

Ujang mengangguk dan tanpa mengeluarkan suara, dia segera mengambil segelas air putih dan mengulurkan pada kakek.

"Silakan, Kek." 

Lalu Ujang berbalik mengambil kendi lagi, siapa tahu kakek masih kehausan.

"Alhamdulillah, segar sekali airnya. Terima kasih. Ujang di sini dengan siapa?"

Kakek menatap dengan wajah bijak, sementara Ujang masih memegang kendi di tangan.

"Ujang tinggal bersama Nenek Uti, Bapak bekerja di kota. Ujang membantu Nenek menjaga warung." Ujang menjelaskan pada kakek yang menatapnya kagum. 

"Kakek rumahnya di mana?" tanya Ujang

"Rumah Kakek jauh sekali." Kakek sekali lagi mengusap kepala Ujang. 

Tiba-tiba, terdengar suara nenek dari dapur.

"Ujang! Kamu bicara dengan siapa?" 

Ujang pun menoleh.

"Dengan Kakek, Nek," sahut Ujang. 

Nenek berjalan menghampiri cucunya dengan terheran, karena tidak ada siapa pun.

"Mana? Kakek siapa? Kamu mimpi, ya?" gurau Nenek. Ujang kebingungan karena kakek berbaju putih telah lenyap, gelas yang tadi dipegang pun sudah kembali ke tempat semula.

*  *  *  

"Lalu, kakek yang menghilang pergi ke mana, Kek?" tanya Adek yang mendengarkan cerita kakeknya dengan antusias. Kakek hanya menyunggingkan senyum menatap sang cucu sambil melanjutkan cerita.

*  *  *

Menjelang pagi, saat cakrawala merona dengan indah, terdengar ketukan di sebuah rumah sederhana. Nenek yang sedang sibuk di dapur segera beranjak untuk membuka pintu. Tampaklah seorang prajurit yang gagah disertai senyum ramah.

"Permisi, Nek. Apakah benar ini rumah Ujang?" tanya sang prajurit.

Nenek mengangguk karena masih terkejut melihat sosok prajurit gagah yang berdiri di depan rumah kecilnya.

"Nek, kami mendapat tugas dari Baginda untuk membawa Nenek dan Ujang ke istana," ucap prajurit. 

Nenek termangu mendengar tugas yang diemban. 

Ada apa ini? batin Nenek Uti.

"A-a-apa salah kami? Mengapa harus ke istana?" Tanya Nenek gugup. Sementara prajurit suruhan hanya tersenyum misterius.

Meskipun hati Nenek Uti dilanda kegundahan, dia dan Ujang tetap berangkat ke istana. Karena rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa takutnya. Nenek tidak takut karena merasa tidak berbuat salah. 

Setibanya di depan Baginda, Ujang sangat terkejut melihat raut muka yang sangat dikenalnya. Namun, dia segera membungkuk,  memberi hormat.

"Kakek. Ampun, Baginda." Ujang tergagap. Bingung harus memanggil apa pada seseorang yang sedang duduk di singgasana dengan menampakkan senyum menyejukkan di wajah bersihnya.

'*  *  *

"Kek, kakek yang diberi Ujang minuman berarti seorang raja? Membantu orang lain tidak boleh pilih-pilih, ya, Kek. Siapa pun yang membutuhkan harus dibantu, selama kita mampu." 

"Cerdas sekali, Cucuku," puji Kakek sambil menyentil hidung cucunya.

"Kek, doakan Adek biar bisa menjadi anak yang saleh, patuh pada orang tua, jujur, dan suka membantu orang lain, ya," tegas Adek bersemangat.

"Alhamdulillah, tentu saja Kakek akan selalu mendoakan yang terbaik. Cucu kakek memang sangat pintar, sudah memahami inti cerita ini. Sekarang, waktunya tidur." Kakek menyelimuti tubuh sang cucu seraya berbaring di samping dan memeluk tubuh mungilnya dengan penuh kasih.

*  *  *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun