Â
"Riki." Ucapku lega, ternyata tak perlu sulit-sulit mencarinya ia datang dengan sendirinya. Seolah sudah menungguku disini.
"Hei, kenapa matamu sembab begitu?" Saga segera duduk disampingku seraya mengembalikan susuku. Aku menatap kardus ditanganku lamat-lamat, memikirkan jawaban yang tepat.
"Sama seperti biasa, aku bertengkar lagi dengan mereka." Akhirnya itu yang keluar dari mulutku. Ekspresi semangat Saga sontak ikut murung sepertiku. Lalu ia menepuk pundakku.
"Kalau begitu, aku akan menemanimu sampai pikiranmu lebih jernih, seperti biasa. Jadi kau akan bercerita atau tidak kali ini?" Saga menorehkan senyum menenangkannya padaku.
"Terimakasih, tapi aku tidak ingin memikirkan soal itu sekarang. Aku lebih memilih memikirkan ikan yang berenang di dalam sungai." Jawabku dengan suara yang masih kering habis menangis tadi, aku lanjut menyedot isi susu kotakku dalam diam.
"Sungainya jernih bukan? Oh iya, tunggu sebentar." Saga berdiri lalu mendekati sungai, arus nya tidak begitu deras. Aku mengernyitkan dahiku, apa yang mau dia lakukan? Saga masuk kedalam sungai lalu mencelupkan tangannya kedalam. Cukup lama ia mondar mandir di tepi sungai.
"Lihat ini!" Seru Saga, ia membawa sebuah batu dengan warna kuning pucat. Permukaannya halus juga agak bening, samar terlihat warna kulit Saga dibaliknya.
"Batu?" Perlu kuakui, batu yang bagus, tapi tetap saja, agak konyol. Aku menatap heran wajah Saga yang terlihat begitu riang.
"Batu sitrin, melambangkan keberuntungan dan hal positif. Sudahlah simpan saja, aku tidak punya lainnya." Ujar Saga, ia mengangkat tanganku lalu meletakkan batu itu di telapak tanganku yang dibuka.
"Terimakasih." Ujarku pelan, senyuman terbentuk di wajahku. Saga selalu punya cara unik untuk menghiburku. Aku menyimpan batu itu di dalam tasku.
Angin yang berhembus makin dingin. Matahari berwarna jingga, ujungnya sudah tenggelam ditelan cakrawala. Saga menyadariku yang menoleh ke arah barat, ia menolehkan kepalanya ke arah yang sama lalu ber-oh paham.
"Kamu sudah mau pulang?" Saga menyembunyikan ekspresi kecewanya, tapi ketahuan karena intonasinya yang begitu jujur. Aku membuka mulutku lalu menutupnya lagi, hanya bisa tersenyum canggung. Saga menggerutu namun aku tidak bisa mendengar.
"Ayo, ku antar ke halte bus kalau begitu." Saga sontak berdiri lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Anu, bus nya baru datang nanti malam kok." Sanggah ku sambil menggaruk tengkuk. Saga mengangkat alisnya, lalu kembali duduk disampingku dengan ekspresi nyengir. Aku tertawa kecil melihatnya.
"Bagaimana kalau kita kembali saja kerumahmu? Lagipula juga sudah sore, dan, dingin." Kedua tanganku memegang lenganku seolah memeluk diri sendiri.
"Kau terburu-buru sampai tidak bawa jaket ya?" Saga menertawakanku, aku menatapnya jengkel. Jangan mengalihkan topik, batinku. Aku diam menunggu jawaban atas pertanyaanku.
"Harus sekarang kah kita kesana? Kenapa tidak main dulu? Atau.. ayo jalan jalan sekitar desa! Tidak sedingin dipinggir sungai tentunya, nanti baru kita ke rumah bibi!" Saga sudah berdiri, tanganku ditarik olehnya.
Kalau itu yang dia inginkan, aku mengiyakan saja lalu segera ikut berdiri. Setidaknya aku jadi tau sekitar sini jadi tidak tersesat kalau mengunjungi Saga lagi. Tapi tetap saja, aku agak bingung dengan tingkahnya.
Saga sontak tersenyum lebar lalu menggandeng tanganku, kita naik kembali ke jalan setapak. Aku ditunjukkannya balai desa, kebun milik keluarga terkaya di sana, rumah angker, banyak lah. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, menyisakan rona merah di bagian bawah cakrawala. Langit sempurna mencapai malam tak lama lagi.
"Ini yang terakhir, dan yang paling spektakuler! Ayo ikuti aku." Saga berlari mendahuluiku yang terengah-engah menaiki tangga keatas sebuah bukit, kanan-kiri ku sudah pepohonan yang bertambah lebat semakin aku menanjak.
Tangga berakhir, menampilkan sepetak aspal di puncak bukit dan pagar yang menjadi perbatasan tanah datar dengan lereng. Aku mendekati pagar tersebut, dingin merambat pada tanganku ketika memegangnya. Aku menunduk, melihat pemandangan di bawah, gelap, dengan beberapa bintik cahaya, ini memang hanya sebuah desa.
"Pemandangannya bukan disitu Riki. Lihatlah keatas!" Saga menunjuk ke langit dengan telunjuknya sambil mendangak.
Mataku mengikuti arah jarinya, tak terhitung jumlahnya, bintik putih menghiasi langit yang gelap. Membentuk lajur panjang bintang-bintang itu berbaris dan terkumpul. Sisanya bertebaran. Tanpa terasa leher ku sudah pegal karena mendangak terlalu lama. Saga hanya menatapku dengan senyum yang lebar.
"Terimakasih, sudah menunjukkanku ini." Ujarku pada Saga yang meletakkan kedua lengannya di atas pagar.
"Lagipula kapan lagi aku akan melakukan ini?" Balas Saga dengan suara yang kecil, seolah ia bergumam. Aku menelengkan kepalaku bingung, apa maksudnya? Tapi Saga hanya menggelengkan kepalanya. Anak yang selalu riang itu kini terlihat sendu, terakhir kali melihatnya begini adalah pada kematian ayahnya.
Namun wajah Saga segera kembali ceria, ia mulai menunjukkanku rasi bintang di langit. Aku mau tak mau tertawa mendengarnya bilang
"Sudah jam segini, bus datang 15 menit lagi." Gumamku ketika mengecek jam di tangan.
"Saga, aku harus segera kembali, bisa bisa aku ketinggalan bus." Terburu-buru, aku sudah sempurna membalikkan badanku, mulai berjalan menuruni tangga. Bukannya aku berharap Saga akan mengantarku, tapi ia tidak merespon sama sekali, sehingga aku menoleh kebelakang.
"Sayang sekali ya, Riki. Maaf aku tidak bisa mengantarmu, aku disini saja. Jaga diri, orang tuamu tidak membencimu kok, kalian hanya saling tidak memahami saja. Menurutku begitu." Saga membelakangiku, sibuk menatap pemandangan di bawah bukit.
Saga yang ku kenal tidak seperti ini. Aku berusaha mencerna perkataannya, hingga ia buka mulut lagi.
"Selamat tinggal Riki, ingat aku ya." Perasaan janggal menyerangku ketika kalimatnya selesai, apa maksudnya?
"Segeralah, nanti ketinggalan bus lho." Saga melambai, namun masih enggan menghadapku.
"Ah iya, sampai jumpa lagi! Kau juga ya, jaga diri!" Aku menepis perasaan janggal itu lalu lanjut menuruni tangga.
. . .
Setibanya di halte bus, aku tersenyum lebar, berbanding terbalik ketika aku datang siang tadi dengan mata sembab. Bus datang segera. Yang paling duluan turun ketika pintu bus tebuka adalah seorang wanita paruh baya.
"Nak Riki?" Mendengar namaku dipanggil aku mendongak, menatap wanita yang kini dihadapanku. Ternyata itu adalah ibunya Saga. Aku segera membalas sapaannya.
"Ada apa kau disini?" Intonasinya terdengar enggan, namun juga iba. Memangnya kenapa? Apakah karena aku jauh-jauh kesini sendirian?
"Aku mengunjungi Saga tante, aku tadi habis bermain dengannya." Jawabku, senyum ramah terpampang diwajahku. Entah kenapa itu malah membuat mata ibu Saga terbelalak.
"Nak? Hari ini kau bertemu dengan Saga? Kau bermain dengannya?" Ibu Saga memegang pundakku, mukanya terlihat campur aduk, terkejut, senang, takut, panik, aku tidak bisa membacanya. Jelas ada sesuatu yang salah. Namun aku hanya bisa mengangguk dengan enggan.
Wanita itu tidak berkata lagi, melepaskan tangannya dari pundakku. Aku bisa melihat matanya mulai berair. Ini semakin membingungkan saja. Mau tidak mau aku bertanya padanya, ada apa dengan anaknya itu.
"Anakku, Saga, ia sudah tidak ada di dunia ini." Ia mengatakan itu seolah berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa itulah kenyataannya.
"Tidak mungkin." Tanpa sengaja aku mengeraskan suaraku. Belum ada satu jam setelah terakhir kali aku melihat Saga, tersenyum padaku, menunjukkan padaku bintang-bintang di langit.
"Aku juga berharap begitu nak, sungguh." Ibu itu menahan isakannya, disana tanganku mulai gemetar, tidak mungkin, tidak mungkin.
"Kau mungkin tidak bisa menerimanya, aku juga, tapi sungguh, nak Riki. Saat ini, aku hanya bisa merasa senang. Jika memang kau bertemu dengan anakku, artinya Saga begitu peduli padamu bahkan kematian tak akan menghalanginya dari menepati janji dengan mu." Kepalaku masih tidak mencerna apa yang dikatakan ibu Riki, tetap saja, air mata yang mengalir lebih dulu menunjukkan isi hatiku.
.
.
.
Mataku kembali sembab, sama ketika aku berangkat ke Flumen siang ini. Tanganku memegang erat batu citrine yang diberikan Saga, benda itu mengilat dibawah lampu dalam bus. batu ini adalah satu satunya bukti bahwa aku memang bersama dengannya siang ini, bukti bahwa dia, mungkin lebih tepatnya aku, menepati janjiku. Janjiku untuk mengunjunginya.
Kurasa aku salah ketika berkata "sampai jumpa lagi." Dan kurasa aku faham apa yang dimaksudnya dengan "ingat aku ya." Tentu saja, Saga, aku takkan melupakanmu.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H