. . .
Setibanya di halte bus, aku tersenyum lebar, berbanding terbalik ketika aku datang siang tadi dengan mata sembab. Bus datang segera. Yang paling duluan turun ketika pintu bus tebuka adalah seorang wanita paruh baya.
"Nak Riki?" Mendengar namaku dipanggil aku mendongak, menatap wanita yang kini dihadapanku. Ternyata itu adalah ibunya Saga. Aku segera membalas sapaannya.
"Ada apa kau disini?" Intonasinya terdengar enggan, namun juga iba. Memangnya kenapa? Apakah karena aku jauh-jauh kesini sendirian?
"Aku mengunjungi Saga tante, aku tadi habis bermain dengannya." Jawabku, senyum ramah terpampang diwajahku. Entah kenapa itu malah membuat mata ibu Saga terbelalak.
"Nak? Hari ini kau bertemu dengan Saga? Kau bermain dengannya?" Ibu Saga memegang pundakku, mukanya terlihat campur aduk, terkejut, senang, takut, panik, aku tidak bisa membacanya. Jelas ada sesuatu yang salah. Namun aku hanya bisa mengangguk dengan enggan.
Wanita itu tidak berkata lagi, melepaskan tangannya dari pundakku. Aku bisa melihat matanya mulai berair. Ini semakin membingungkan saja. Mau tidak mau aku bertanya padanya, ada apa dengan anaknya itu.
"Anakku, Saga, ia sudah tidak ada di dunia ini." Ia mengatakan itu seolah berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa itulah kenyataannya.
"Tidak mungkin." Tanpa sengaja aku mengeraskan suaraku. Belum ada satu jam setelah terakhir kali aku melihat Saga, tersenyum padaku, menunjukkan padaku bintang-bintang di langit.
"Aku juga berharap begitu nak, sungguh." Ibu itu menahan isakannya, disana tanganku mulai gemetar, tidak mungkin, tidak mungkin.
"Kau mungkin tidak bisa menerimanya, aku juga, tapi sungguh, nak Riki. Saat ini, aku hanya bisa merasa senang. Jika memang kau bertemu dengan anakku, artinya Saga begitu peduli padamu bahkan kematian tak akan menghalanginya dari menepati janji dengan mu." Kepalaku masih tidak mencerna apa yang dikatakan ibu Riki, tetap saja, air mata yang mengalir lebih dulu menunjukkan isi hatiku.