Angin yang berhembus makin dingin. Matahari berwarna jingga, ujungnya sudah tenggelam ditelan cakrawala. Saga menyadariku yang menoleh ke arah barat, ia menolehkan kepalanya ke arah yang sama lalu ber-oh paham.
"Kamu sudah mau pulang?" Saga menyembunyikan ekspresi kecewanya, tapi ketahuan karena intonasinya yang begitu jujur. Aku membuka mulutku lalu menutupnya lagi, hanya bisa tersenyum canggung. Saga menggerutu namun aku tidak bisa mendengar.
"Ayo, ku antar ke halte bus kalau begitu." Saga sontak berdiri lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Anu, bus nya baru datang nanti malam kok." Sanggah ku sambil menggaruk tengkuk. Saga mengangkat alisnya, lalu kembali duduk disampingku dengan ekspresi nyengir. Aku tertawa kecil melihatnya.
"Bagaimana kalau kita kembali saja kerumahmu? Lagipula juga sudah sore, dan, dingin." Kedua tanganku memegang lenganku seolah memeluk diri sendiri.
"Kau terburu-buru sampai tidak bawa jaket ya?" Saga menertawakanku, aku menatapnya jengkel. Jangan mengalihkan topik, batinku. Aku diam menunggu jawaban atas pertanyaanku.
"Harus sekarang kah kita kesana? Kenapa tidak main dulu? Atau.. ayo jalan jalan sekitar desa! Tidak sedingin dipinggir sungai tentunya, nanti baru kita ke rumah bibi!" Saga sudah berdiri, tanganku ditarik olehnya.
Kalau itu yang dia inginkan, aku mengiyakan saja lalu segera ikut berdiri. Setidaknya aku jadi tau sekitar sini jadi tidak tersesat kalau mengunjungi Saga lagi. Tapi tetap saja, aku agak bingung dengan tingkahnya.
Saga sontak tersenyum lebar lalu menggandeng tanganku, kita naik kembali ke jalan setapak. Aku ditunjukkannya balai desa, kebun milik keluarga terkaya di sana, rumah angker, banyak lah. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, menyisakan rona merah di bagian bawah cakrawala. Langit sempurna mencapai malam tak lama lagi.
"Ini yang terakhir, dan yang paling spektakuler! Ayo ikuti aku." Saga berlari mendahuluiku yang terengah-engah menaiki tangga keatas sebuah bukit, kanan-kiri ku sudah pepohonan yang bertambah lebat semakin aku menanjak.
Tangga berakhir, menampilkan sepetak aspal di puncak bukit dan pagar yang menjadi perbatasan tanah datar dengan lereng. Aku mendekati pagar tersebut, dingin merambat pada tanganku ketika memegangnya. Aku menunduk, melihat pemandangan di bawah, gelap, dengan beberapa bintik cahaya, ini memang hanya sebuah desa.