"Pemandangannya bukan disitu Riki. Lihatlah keatas!" Saga menunjuk ke langit dengan telunjuknya sambil mendangak.
Mataku mengikuti arah jarinya, tak terhitung jumlahnya, bintik putih menghiasi langit yang gelap. Membentuk lajur panjang bintang-bintang itu berbaris dan terkumpul. Sisanya bertebaran. Tanpa terasa leher ku sudah pegal karena mendangak terlalu lama. Saga hanya menatapku dengan senyum yang lebar.
"Terimakasih, sudah menunjukkanku ini." Ujarku pada Saga yang meletakkan kedua lengannya di atas pagar.
"Lagipula kapan lagi aku akan melakukan ini?" Balas Saga dengan suara yang kecil, seolah ia bergumam. Aku menelengkan kepalaku bingung, apa maksudnya? Tapi Saga hanya menggelengkan kepalanya. Anak yang selalu riang itu kini terlihat sendu, terakhir kali melihatnya begini adalah pada kematian ayahnya.
Namun wajah Saga segera kembali ceria, ia mulai menunjukkanku rasi bintang di langit. Aku mau tak mau tertawa mendengarnya bilang
"Sudah jam segini, bus datang 15 menit lagi." Gumamku ketika mengecek jam di tangan.
"Saga, aku harus segera kembali, bisa bisa aku ketinggalan bus." Terburu-buru, aku sudah sempurna membalikkan badanku, mulai berjalan menuruni tangga. Bukannya aku berharap Saga akan mengantarku, tapi ia tidak merespon sama sekali, sehingga aku menoleh kebelakang.
"Sayang sekali ya, Riki. Maaf aku tidak bisa mengantarmu, aku disini saja. Jaga diri, orang tuamu tidak membencimu kok, kalian hanya saling tidak memahami saja. Menurutku begitu." Saga membelakangiku, sibuk menatap pemandangan di bawah bukit.
Saga yang ku kenal tidak seperti ini. Aku berusaha mencerna perkataannya, hingga ia buka mulut lagi.
"Selamat tinggal Riki, ingat aku ya." Perasaan janggal menyerangku ketika kalimatnya selesai, apa maksudnya?
"Segeralah, nanti ketinggalan bus lho." Saga melambai, namun masih enggan menghadapku.
"Ah iya, sampai jumpa lagi! Kau juga ya, jaga diri!" Aku menepis perasaan janggal itu lalu lanjut menuruni tangga.