Tapi akhir-akhir ini kau dan aku kerap sekali menyaksikan Mimin ngambek, marah dan sebagainya. Kau tak tahu mengapa itu terjadi. Akupun tak tahu mengapa ia jadi begitu. Karena marah, kami yang jadi kena imbasnya. Kami dibanting. Ia menaruh kami dengan kasar. Kalau kami bisa bicara pada Mimin, dan boleh bicara. Kami ingin bicara sepeti ini, “Mimin, sayangi kami seperti dulu lagi. Kau dan kami boleh berbeda, tapi kau tak boleh menyakiti kami seperti ini.”
Setelah ia marah, biasanya Aman datang. Mencoba menenangkan mungkin. Minta maaf lebih mungkin. Tapi Mimin malah lebih marah. Ia lempar bantal-guling yang ada di kamar. Mungkin, andai ia kuat, ia pasti akan melempar kasur ke muka Aman. Saking marahnya.
“Prok Prok Prok,” suara tubuh kami yang mencium tanah begitu keras. Mimin melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Kemudian ia melempar kami ke atas rak dengan keras.
“Aduh, kenapa Mimin kok begitu ya?”
“Kamu tak terluka kan, Yang?
“Tidak. Aku baik-baik saja, Yang.”
Kali ini Mimin marah sekali. Marah hebat. Dahsyat. “Kemarin kau jalan-jalan sama siapa, Mas?!. Siapa perempuan itu?!.”
“Itu temenku kok.”
“Jangan bohong! Kau bahkan bergandengan tangan dengannya. Kau selingkuh, Mas. Kau selingkuh!.”
“Pokoknya aku minta cerai!,” Mimin menyecar
Kau dan aku hanya melongo melihat pertikaian itu. Mendadak ada piring terbang!. Minggir. Ada panci terbang!. “Awas! Sendok dan garpu terbang!.” Aku memelukmu. Melindungimu dari benda-benda yang jatuh berterbangan itu. Mereka itu kenapa ya?. Aduh, di sini gaduh sekali.