Mimin ini sayang sekali sama kami. Pernah suatu ketika, Aman membelikan ganti yang lebih bagus dari kami. Tapi Mimin menggeleng tak mau. Bukannnya tak mau menerima pemberian itu. Ia hanya tak ingin kehilangan kenangan-kenangannya yang bisa turut hilang dari kehidupannya ketika kami hilang dari kehidupannya. Kata Mimin, kami ini pemberian dari ibunya dulu. Jadi, ia tak bisa mengantikan kami dengan yang lain. Bahkan dengan yang lebih bagus sekalipun!.
Kami ikhlas. Sangat ikhlas. Meskipun kadang, bahkan sering sekali kaki Mimin membuat tubuh kita menjadi bau. Bau yang membuat beberapa orang rela menyingkir dari sanding kami. Namun, karena Mimin benar-benar sayang pada kami, tiap bulan ia memandikan kami. Tentu menyenangkan sekali saat aku dan kau bisa mandi bersama seperti itu.
Aku dan kau sungguh sangat tak menyangka bisa hidup bersanding Mimin selama ini. Aku masih ingat saat ia masih SMA, saat ia pertama kali mengenakan kami.
Petama-tama, ia menyentuh kami. Kemudian ia meraba tubuh kami. Setelah itu ia mencium aroma fresh,aroma khas ketika kami masih baru. Barulah ia mengenakan kami.
“Wahh... bagus sekali. Ini seperti mimpi,” kata Mimin yang berlanjut dengan ucapan terimakasih untuk ibunya. “Terimakasih, Bu.” Mimin memeluk ibunya.
Kami masih ingat betul ekspresi ibunya saat itu. Kulihat ibunya begitu bahagia, berpadu haru. Beberapa kali ia sempat menitikkan air matanya. Beberapa kali pula ia sempat mengusapnya.
“Mimin senengkan?”
“Iya, Bu.”
“Jaga baik-baik. Jangan sampai kamu rusakkan ya, Nak. Ini pemberian dari Ibu, untuk Mimin.”
“Iya, Bu,” Mimin terlihat tersenyum, namun terlihat pula menangis. Mimin terharu.
Sore, saat pulang dari toko sepatu kala itu, Mimin memeluk lembut tubuh kami. Dari tubuh kami yang masih tampak kinclong, pancaran kebahagian itu terpancar. Sampai rumah, kukira Mimin akan lekas-lekas menaruhku di atas rak. Dugaanku salah. Ternyata Mimin membawa kami ke kamar. Kemudian ia letakkan kami di antara celah dua bantal.