Bahkan, kami sekalian diajaknya ikut dalam bulan madu mereka. Mimin baik sekali. Baik atau karena ia memang membutuhkan kami ya?. Entahlah. Kupikir ia memang baik. Ketika kau kutanya apakah menurutmu ia baik atau tidak. Kau hanya mengangkat bahu. Isyarat bahwa kau tak benar-benar tahu.
Waktu itu mereka terlihat amat romantis. Di sebuah resort. Di tepi pantai. Mereka duduk berhadapan. Saling pandang.
“Kau tahu? Malam ini kau terlihat amat cantik.” Aman membisik.
Mimin tersipu. Kemudian mereka hening.
Kau mencoba menatap lekat wajah Aman yang terlihat sedang benar-benar terpesona itu. Namun ketika kau mendongak, pandanganmu terhalang oleh meja di atasmu. Kau hanya bisa memandang sepasang sepatu Aman yang sama mengkilapnya denganmu.
“Mereka terlihat bahagia sekali ya?,” katamu pada sepasang sepatu itu.
“Iya… Sepertinya mereka sedang tak boleh diganggu,” sahutnya.
“Ohya,” Mimin melanjutkan obrolannya lagi. “Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu?”
“Tentu.”
“Saat itu kau benar-benar kikuk. Kau terlihat malu-malu.” Mimin tertawa. Tubuhnya bergoncang. Namun tetap menampakkan keanggunan.
“Kau yang lebih kikuk. Kau malah lari terbirit-birit saat bertemu aku!. Aman tertawa. Tawanya lenyap seiring angin malam yang berhembus. Namun seketika mereka tertawa lagi bersama.