“Lhoh, kok sepatunya di taruh situ, Min?”
“Takut hilang, Bu.”
Kami ini selalu bersama, meskipun kami berbeda. Harus selalu bersama. Tak boleh dipisahkan. Bisa kacau nanti jadinya. Kacau. Kami bisa tak laku dijual di pasar jika tak bersama. Kami bisa dibuang ke tempat sampah. Intinya, jika kami tak bersama, tak ada yang mau sama kami. Titik.
“Aku dan kau ini kan saling melengkapi. Kau di sebelah kiri. Aku di sebelah kanan.”
Yang aku heran. Kenapa masih banyak yang tak bisa menghargai perbedaan ya?. Kami ini jelas berbeda lhoh. Aku di sebelah kanan. Harus. Kau di sebelah kiri. Juga harus. Tapi kami bisa saling melengkapi.
Aku tahu, Mimin begitu menyangi kami. Sudah dua tahun ini, aku hidup bersama keluarga barunya. “Rukun sekali ya keluarga mereka,” katamu saat melihat mereka saling suap saat makan.
“Iya ya.”
“Kita juga bisa rukun seperti itu kan, yang?”
“Oh. Tentu dong.”
“Kita ini kemana-mana selalu bersama. Pasti kita malah lebih dari mereka dong.”
Kau terkekeh mendengar jawabanku tadi. Lantas tersenyum memeluk erat tubuhku. “Ah, hangatnya...”