Dua tahun lalu, sepasang kekasih namanya Aman dan Mimin menikah. Mereka bahagia sekali. Apa lagi saat itu Mimin mengenakan kami dalam acara pernikahannya. Menyenangkan sekali buat kami saat itu. Karena kami bisa berulangkali difoto bersama mereka.
Saat acara temu pengantin, Mimin terlihat cemas karena tak kunjung bertemu dengan Aman. Berulangkali ia memegang dan mengelus-ngelus dadanya. Perasaan cemasnya kemudian berubah menjadi perasaan grogi tak karuan.
Aman sudah di depan mata, dan tersenyum sumringah. Mimin tersenyum kecil. Sementara suara tabuh rebana yang mengiringi Aman berjalan terus saja memainkan lagu-lagu kebahagiaan. Mimin terpaku menunggu. Lagu-lagu kebahagiaan itu membuatnya terharu. Aku jadi teringat saat aku dan kau pertama kali bertemu.
“Apa kau masih ingat saat pertama kali kau dan aku bertemu?”
“Tentu. Itu benar-benar sebuah kenangan yang tak boleh dilupakan.”
“Kau dan aku memang sudah ditakdirkan menjadi pasangan sejati.”
“Iya,” kau tersenyum.
Biarpun Mimin sering sekali menginjak-nginjak kami, namun ia sering sekali mengajak kami pergi. Kesana-kemari, ke kantor, ke mall, kemana saja!. Dan kami bisa kencan dengan gratis berkat Mimin. Ya, walau kadang kami harus berkotor-kotor karena debu di jalanan tak pernah bersahabat dengan kami. Tapi itu bukan masalah. Yang terpenting kami bisa bersama kemana saja.
Sesekali, ia memberi sesuatu hitam pada tubuh kami. Ia oleskan sesuatu hitam itu pada tubuh kami sampai benar-benar rata. Dan kami terlihat mengkilap. Ia menaruh kami di rak. Setelah itu, kami bertukar pandang.
“Kali ini kau benar-benar cantik,” kataku lirih padamu.
“Ohya? Kalau begitu, kali ini kau benar-benar tampan,” timpalmu. Dan setelah itu kami tertawa.
Bahkan, kami sekalian diajaknya ikut dalam bulan madu mereka. Mimin baik sekali. Baik atau karena ia memang membutuhkan kami ya?. Entahlah. Kupikir ia memang baik. Ketika kau kutanya apakah menurutmu ia baik atau tidak. Kau hanya mengangkat bahu. Isyarat bahwa kau tak benar-benar tahu.
Waktu itu mereka terlihat amat romantis. Di sebuah resort. Di tepi pantai. Mereka duduk berhadapan. Saling pandang.
“Kau tahu? Malam ini kau terlihat amat cantik.” Aman membisik.
Mimin tersipu. Kemudian mereka hening.
Kau mencoba menatap lekat wajah Aman yang terlihat sedang benar-benar terpesona itu. Namun ketika kau mendongak, pandanganmu terhalang oleh meja di atasmu. Kau hanya bisa memandang sepasang sepatu Aman yang sama mengkilapnya denganmu.
“Mereka terlihat bahagia sekali ya?,” katamu pada sepasang sepatu itu.
“Iya… Sepertinya mereka sedang tak boleh diganggu,” sahutnya.
“Ohya,” Mimin melanjutkan obrolannya lagi. “Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu?”
“Tentu.”
“Saat itu kau benar-benar kikuk. Kau terlihat malu-malu.” Mimin tertawa. Tubuhnya bergoncang. Namun tetap menampakkan keanggunan.
“Kau yang lebih kikuk. Kau malah lari terbirit-birit saat bertemu aku!. Aman tertawa. Tawanya lenyap seiring angin malam yang berhembus. Namun seketika mereka tertawa lagi bersama.
Mimin ini sayang sekali sama kami. Pernah suatu ketika, Aman membelikan ganti yang lebih bagus dari kami. Tapi Mimin menggeleng tak mau. Bukannnya tak mau menerima pemberian itu. Ia hanya tak ingin kehilangan kenangan-kenangannya yang bisa turut hilang dari kehidupannya ketika kami hilang dari kehidupannya. Kata Mimin, kami ini pemberian dari ibunya dulu. Jadi, ia tak bisa mengantikan kami dengan yang lain. Bahkan dengan yang lebih bagus sekalipun!.
Kami ikhlas. Sangat ikhlas. Meskipun kadang, bahkan sering sekali kaki Mimin membuat tubuh kita menjadi bau. Bau yang membuat beberapa orang rela menyingkir dari sanding kami. Namun, karena Mimin benar-benar sayang pada kami, tiap bulan ia memandikan kami. Tentu menyenangkan sekali saat aku dan kau bisa mandi bersama seperti itu.
Aku dan kau sungguh sangat tak menyangka bisa hidup bersanding Mimin selama ini. Aku masih ingat saat ia masih SMA, saat ia pertama kali mengenakan kami.
Petama-tama, ia menyentuh kami. Kemudian ia meraba tubuh kami. Setelah itu ia mencium aroma fresh,aroma khas ketika kami masih baru. Barulah ia mengenakan kami.
“Wahh... bagus sekali. Ini seperti mimpi,” kata Mimin yang berlanjut dengan ucapan terimakasih untuk ibunya. “Terimakasih, Bu.” Mimin memeluk ibunya.
Kami masih ingat betul ekspresi ibunya saat itu. Kulihat ibunya begitu bahagia, berpadu haru. Beberapa kali ia sempat menitikkan air matanya. Beberapa kali pula ia sempat mengusapnya.
“Mimin senengkan?”
“Iya, Bu.”
“Jaga baik-baik. Jangan sampai kamu rusakkan ya, Nak. Ini pemberian dari Ibu, untuk Mimin.”
“Iya, Bu,” Mimin terlihat tersenyum, namun terlihat pula menangis. Mimin terharu.
Sore, saat pulang dari toko sepatu kala itu, Mimin memeluk lembut tubuh kami. Dari tubuh kami yang masih tampak kinclong, pancaran kebahagian itu terpancar. Sampai rumah, kukira Mimin akan lekas-lekas menaruhku di atas rak. Dugaanku salah. Ternyata Mimin membawa kami ke kamar. Kemudian ia letakkan kami di antara celah dua bantal.
“Lhoh, kok sepatunya di taruh situ, Min?”
“Takut hilang, Bu.”
Kami ini selalu bersama, meskipun kami berbeda. Harus selalu bersama. Tak boleh dipisahkan. Bisa kacau nanti jadinya. Kacau. Kami bisa tak laku dijual di pasar jika tak bersama. Kami bisa dibuang ke tempat sampah. Intinya, jika kami tak bersama, tak ada yang mau sama kami. Titik.
“Aku dan kau ini kan saling melengkapi. Kau di sebelah kiri. Aku di sebelah kanan.”
Yang aku heran. Kenapa masih banyak yang tak bisa menghargai perbedaan ya?. Kami ini jelas berbeda lhoh. Aku di sebelah kanan. Harus. Kau di sebelah kiri. Juga harus. Tapi kami bisa saling melengkapi.
Aku tahu, Mimin begitu menyangi kami. Sudah dua tahun ini, aku hidup bersama keluarga barunya. “Rukun sekali ya keluarga mereka,” katamu saat melihat mereka saling suap saat makan.
“Iya ya.”
“Kita juga bisa rukun seperti itu kan, yang?”
“Oh. Tentu dong.”
“Kita ini kemana-mana selalu bersama. Pasti kita malah lebih dari mereka dong.”
Kau terkekeh mendengar jawabanku tadi. Lantas tersenyum memeluk erat tubuhku. “Ah, hangatnya...”
Tapi akhir-akhir ini kau dan aku kerap sekali menyaksikan Mimin ngambek, marah dan sebagainya. Kau tak tahu mengapa itu terjadi. Akupun tak tahu mengapa ia jadi begitu. Karena marah, kami yang jadi kena imbasnya. Kami dibanting. Ia menaruh kami dengan kasar. Kalau kami bisa bicara pada Mimin, dan boleh bicara. Kami ingin bicara sepeti ini, “Mimin, sayangi kami seperti dulu lagi. Kau dan kami boleh berbeda, tapi kau tak boleh menyakiti kami seperti ini.”
Setelah ia marah, biasanya Aman datang. Mencoba menenangkan mungkin. Minta maaf lebih mungkin. Tapi Mimin malah lebih marah. Ia lempar bantal-guling yang ada di kamar. Mungkin, andai ia kuat, ia pasti akan melempar kasur ke muka Aman. Saking marahnya.
“Prok Prok Prok,” suara tubuh kami yang mencium tanah begitu keras. Mimin melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Kemudian ia melempar kami ke atas rak dengan keras.
“Aduh, kenapa Mimin kok begitu ya?”
“Kamu tak terluka kan, Yang?
“Tidak. Aku baik-baik saja, Yang.”
Kali ini Mimin marah sekali. Marah hebat. Dahsyat. “Kemarin kau jalan-jalan sama siapa, Mas?!. Siapa perempuan itu?!.”
“Itu temenku kok.”
“Jangan bohong! Kau bahkan bergandengan tangan dengannya. Kau selingkuh, Mas. Kau selingkuh!.”
“Pokoknya aku minta cerai!,” Mimin menyecar
Kau dan aku hanya melongo melihat pertikaian itu. Mendadak ada piring terbang!. Minggir. Ada panci terbang!. “Awas! Sendok dan garpu terbang!.” Aku memelukmu. Melindungimu dari benda-benda yang jatuh berterbangan itu. Mereka itu kenapa ya?. Aduh, di sini gaduh sekali.
Mimin yang melempar alat-alat rumah tanggapun mendapat balasan pukulan dari Aman. Oh tidak, ini KDRT. “ Mimin mengusir Aman. “Sekarang kau keluar, Mas! Keluar dari rumah!”
“Eh, ini rumah yang beli siapa?! Main usir segala!”
Kami memilih turun dari rak dan sembunyi di balik kursi. Tapi kemudian kursi itu tersungkur di tendang Aman. Oh, tidak. Ini perang dunia rumah tangga. Mimin melempar garpu. Aman membalas melempar sendok.
Tiba-tiba, situasi membuat Aman terdesak keluar rumah. Serangan dari Mimin menghujam deras ke arah Aman. Ia kewalahan. Kau melihat Mimin mengambilku. Kemudian ia melemparku jauh. Jauh, jauh sekali. Jauh sekali darimu. “Aaaahhh!!! Tidak!!! Aku terpisah denganmu!.” Sementara kau tetap duduk, dan tinggal di rak sepatu tanpa aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H