Sebagai contoh, di beberapa negara Afrika, politisasi lembaga antikorupsi telah menyebabkan kegagalan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar.Â
Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut berubah fungsi menjadi alat politik yang melayani kepentingan kelompok tertentu, bukan sebagai pengawas yang netral dan independen.
Indonesia tampaknya sedang menuju jalur serupa. Dominasi aparat hukum dalam kepemimpinan KPK menimbulkan risiko terjadinya pola yang sama.Â
Ketika tekanan politik membatasi keberanian lembaga pengawas untuk melawan korupsi, korupsi sistemik menjadi sulit dihindari.Â
Tanpa independensi yang kuat, fungsi utama KPK sebagai lembaga antikorupsi bisa tergerus.Â
Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia, dalam hal ini Presiden Prabowo, akan membiarkan sejarah ini terulang, atau mengambil langkah untuk mempertahankan integritas KPK?
Apa yang Harus Presiden Lakukan?
Di tengah tantangan independensi KPK, peran presiden menjadi krusial dalam memastikan lembaga ini tetap berfungsi sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.Â
Sebagai kepala negara, presiden memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk mengarahkan kebijakan yang mendukung transparansi dan reformasi sistem seleksi pimpinan KPK.Â
Tanpa campur tangan yang tegas dari presiden, langkah mundur ini berisiko berlanjut, melemahkan integritas lembaga dan kepercayaan publik.
Reformasi sistem seleksi pimpinan KPK menjadi salah satu solusi utama.Â
Presiden dapat mendorong perubahan regulasi yang membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat sipil dalam proses seleksi.Â