Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Independensi KPK Dipertaruhkan

22 November 2024   17:48 Diperbarui: 23 November 2024   06:38 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/HERYUNANTO) 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menjadi simbol harapan masyarakat dalam memberantas korupsi di Indonesia. 

Sebagai lembaga independen, KPK mendapat kepercayaan tinggi sebagai garda terdepan melawan praktik korupsi yang merajalela. 

Namun, komposisi terbaru pimpinan KPK periode 2024-2029 menimbulkan kekhawatiran. Seluruh pimpinan baru berasal dari kalangan aparat penegak hukum, tanpa perwakilan dari masyarakat sipil atau perempuan. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan independensi dan efektivitas lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya.

Data dari Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap independensi KPK terus merosot, dari 83% pada 2019 menjadi hanya 28% di 2023. 

Penurunan ini mengindikasikan kekhawatiran masyarakat terhadap hilangnya elemen kunci dalam proses seleksi, yaitu keterlibatan unsur masyarakat sipil.

Dominasi Aparat Hukum

Seluruh pimpinan KPK periode 2024-2029 memiliki latar belakang aparat penegak hukum. 

Mulai dari Setyo Budiyanto sebagai ketua hingga empat wakil ketua lainnya, tidak ada satu pun yang berasal dari masyarakat sipil. 

Komposisi ini memunculkan kekhawatiran tentang potensi dampaknya terhadap independensi lembaga. 

Jika KPK sepenuhnya diisi oleh aparat hukum, ada risiko terjadinya loyalitas ganda, di mana para pimpinan lebih cenderung mempertahankan kepentingan institusi asal mereka dibandingkan menjalankan tugas secara independen.

Menurut Tempo, risiko loyalitas ganda ini dapat menghambat keberanian KPK dalam menindak kasus-kasus korupsi yang sensitif. 

Situasi ini menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuan KPK untuk bertindak tegas dan independen seperti sebelumnya. 

Pertanyaan besar pun muncul, apakah KPK masih dapat mempertahankan perannya sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang berani dan bebas dari pengaruh eksternal?

Hilangnya Masyarakat Sipil

Ketiadaan unsur masyarakat sipil dalam kepemimpinan KPK adalah masalah besar. 

Kenapa? Karena masyarakat sipil adalah pengawas alami. Mereka tidak terikat birokrasi, tidak punya kepentingan politik, dan hanya fokus pada keadilan. 

Menurut IM57+, kelompok mantan pegawai KPK, keputusan DPR untuk mengabaikan calon dari masyarakat sipil adalah langkah mundur. 

Hal ini bisa membuka peluang korupsi sistemik yang semakin sulit diawasi.

Analoginya sederhana. 

Bayangkan sebuah perumahan yang dulunya dijaga bersama oleh satpam dan warga. Kini, hanya satpam yang tersisa. Tanpa warga yang turut mengawasi, siapa yang memastikan satpam tidak tidur di jam kerja? 

Begitulah yang saya rasakan terhadap KPK sekarang. Tanpa masyarakat sipil, siapa yang akan memastikan mereka tetap teguh pada tugasnya?

Belajar dari Negara Lain

Masalah independensi lembaga antikorupsi bukan hanya tantangan yang dihadapi Indonesia. 

Di berbagai negara, hilangnya independensi lembaga pengawas sering kali berujung pada penurunan efektivitasnya. 

Sebagai contoh, di beberapa negara Afrika, politisasi lembaga antikorupsi telah menyebabkan kegagalan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar. 

Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut berubah fungsi menjadi alat politik yang melayani kepentingan kelompok tertentu, bukan sebagai pengawas yang netral dan independen.

Indonesia tampaknya sedang menuju jalur serupa. Dominasi aparat hukum dalam kepemimpinan KPK menimbulkan risiko terjadinya pola yang sama. 

Ketika tekanan politik membatasi keberanian lembaga pengawas untuk melawan korupsi, korupsi sistemik menjadi sulit dihindari. 

Tanpa independensi yang kuat, fungsi utama KPK sebagai lembaga antikorupsi bisa tergerus. 

Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia, dalam hal ini Presiden Prabowo, akan membiarkan sejarah ini terulang, atau mengambil langkah untuk mempertahankan integritas KPK?

Apa yang Harus Presiden Lakukan?

Di tengah tantangan independensi KPK, peran presiden menjadi krusial dalam memastikan lembaga ini tetap berfungsi sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. 

Sebagai kepala negara, presiden memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk mengarahkan kebijakan yang mendukung transparansi dan reformasi sistem seleksi pimpinan KPK. 

Tanpa campur tangan yang tegas dari presiden, langkah mundur ini berisiko berlanjut, melemahkan integritas lembaga dan kepercayaan publik.

Reformasi sistem seleksi pimpinan KPK menjadi salah satu solusi utama. 

Presiden dapat mendorong perubahan regulasi yang membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat sipil dalam proses seleksi. 

Dengan keterwakilan masyarakat sipil, KPK dapat mempertahankan perspektif yang beragam dan netral, jauh dari tekanan politik atau kepentingan birokrasi.

Alasan utama masyarakat lebih berharap kepada presiden dalam menangani masalah ini adalah otoritasnya sebagai simbol kepemimpinan nasional. 

Presiden bukan hanya memiliki pengaruh langsung terhadap pembentukan kebijakan, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan KPK tetap menjadi lembaga yang independen dan efektif. 

Kepercayaan publik yang merosot terhadap KPK, seperti yang dicatat Transparency International, menunjukkan perlunya tindakan strategis dari pemimpin tertinggi negara. 

Dengan mengambil langkah nyata, presiden dapat memulihkan harapan masyarakat dan memastikan KPK tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

KPK Adalah Pemberantas Korupsi, Bukan Pelindung Koruptor

KPK lahir sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, tetapi dengan independensinya yang terus dipertaruhkan, apakah lembaga ini masih dapat menjalankan fungsi itu? 

Dominasi aparat hukum tanpa keterwakilan masyarakat sipil dalam kepemimpinan KPK periode ini menandai kemunduran besar, membuka peluang bagi politisasi dan korupsi sistemik. 

Kepercayaan publik yang terus merosot, seperti tercermin dalam data Transparency International, adalah peringatan serius.

Jika KPK tidak lagi menjadi pemberantas korupsi yang independen, siapa yang akan melindungi rakyat dari para koruptor? 

Akankah negara akan membiarkan lembaga ini kehilangan jati dirinya?

***

Referensi:

  • Tempo. (2024). Komisioner KPK pilihan DPR menuai kritik karena dominasi aparat hukum
  • Transparency International Indonesia. (2023). Independensi KPK dalam pemberantasan korupsi: Masihkah dipercaya? 
  • Tempo. (2024). IM57+ kritik DPR karena tak pilih pimpinan KPK dari masyarakat sipil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun