Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Transaksi ke Meritokrasi, Jalan Panjang Reformasi Legislasi

5 Oktober 2024   06:07 Diperbarui: 5 Oktober 2024   06:07 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meritokrasi (minutehack.com)

Di Indonesia, setiap kali kita berbicara mengenai pemilihan pimpinan MPR/DPR, ada satu hal yang hampir selalu menjadi sorotan utama—politik transaksional. 

Tahun demi tahun, praktik ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik kita. 

Meski di satu sisi dianggap lumrah, di sisi lain, dampak jangka panjang dari politik transaksional ini merugikan, khususnya dalam hal efektivitas lembaga legislatif kita. 

Sebagai bangsa yang terus berjuang untuk memperbaiki kualitas demokrasinya, pertanyaan yang patut kita renungkan bersama adalah: apakah kita harus terus meneruskan sistem ini, atau sudah saatnya kita mencoba pendekatan baru, yaitu meritokrasi?

Politik Transaksional: Sejarah yang Terus Berulang

Untuk memahami mengapa politik transaksional begitu melekat dalam pemilihan pimpinan MPR/DPR, kita harus melihat sejarahnya. 

Menurut artikel di Tempo.co yang merangkum sejarah politik di Indonesia, praktik politik transaksional bukanlah hal baru. 

Sejak masa Orde Baru, ketika kekuasaan terpusat pada Golkar dan sekutu-sekutunya, transaksi politik sudah menjadi cara efektif bagi partai untuk mendapatkan dukungan. 

Pola ini berlanjut hingga era Reformasi, dengan berbagai partai politik melakukan lobi-lobi politik untuk memengaruhi keputusan strategis, termasuk pemilihan pimpinan MPR/DPR.

Tulisan lain dari Tirto.id menunjukkan bahwa praktik politik transaksional ini sudah berakar dalam sistem parlementer Indonesia. 

Lobi politik, kesepakatan di balik layar, dan bahkan politik uang menjadi cara untuk memuluskan jalan dalam perebutan kursi pimpinan parlemen. 

Dampaknya? Kredibilitas lembaga legislatif seringkali dipertaruhkan. 

Publik semakin skeptis terhadap motif di balik pemilihan para pemimpin tersebut, karena yang terlihat di permukaan bukanlah kualitas atau kompetensi, melainkan transaksi kekuasaan.

Dampak Negatif Kompromi Politik terhadap Efektivitas Lembaga Legislatif

Politik transaksional membawa dampak yang lebih luas dari sekadar tercapainya kesepakatan bagi-bagi kursi. 

Dampak utamanya terasa dalam efektivitas kinerja lembaga legislatif. 

Berdasarkan Journal Unpar, salah satu tantangan terbesar dalam sistem legislasi di Indonesia adalah kurangnya analisis dampak yang mendalam dalam penyusunan undang-undang. 

Salah satu penyebabnya adalah politik kompromi yang terjadi di balik layar. 

Hasil akhirnya? 

Legislasi yang dihasilkan kerap kali tidak efektif dan saling bertentangan dengan peraturan lainnya.

Situasi ini diperburuk oleh sistem multipartai ekstrem yang menyebabkan fragmentasi politik di parlemen. 

Studi dari TheJournalish menunjukkan bahwa presiden terpilih di Indonesia sering kali harus melakukan kompromi politik dengan banyak partai demi mendapatkan dukungan di parlemen. 

Kompromi semacam ini memang tampak sebagai solusi jangka pendek untuk menjaga stabilitas, tetapi dalam jangka panjang, justru menghambat efektivitas pemerintahan dan merusak stabilitas politik.

Laporan dari Hukumonline juga mengidentifikasi tiga penyebab utama lemahnya kinerja legislasi DPR, salah satunya adalah praktik kompromi politik yang menghambat proses legislasi yang lebih cepat dan efisien. 

Kompromi ini sering kali mengorbankan kualitas peraturan demi kepentingan politik jangka pendek, dan bukan demi kepentingan rakyat.

Meritokrasi: Solusi bagi Pemilihan Pimpinan Lembaga Legislatif?

Dalam konteks inilah meritokrasi muncul sebagai wacana yang semakin relevan. 

Meritokrasi menawarkan pendekatan yang berbeda dalam pemilihan pemimpin, di mana keputusan didasarkan pada kemampuan, kinerja, dan kompetensi individu, bukan pada kekayaan atau koneksi politik. 

Menurut artikel di Edunews.id, meritokrasi menekankan bahwa hanya mereka yang benar-benar kompeten dan memiliki rekam jejak yang baik yang layak memimpin.

Namun, tantangan dalam menerapkan meritokrasi di Indonesia cukup besar. 

Sistem yang transparan dan berbasis kinerja ini memerlukan reformasi besar-besaran, terutama dalam hal seleksi dan promosi di lembaga-lembaga publik. 

Meritokrasi menuntut adanya mekanisme rekrutmen yang adil dan bersih dari politik uang serta nepotisme. 

Sistem ini juga memerlukan pemantauan yang ketat agar prosesnya benar-benar berjalan sesuai prinsip meritokrasi.

Belajar dari Negara Lain: Penerapan Meritokrasi yang Sukses

Untuk lebih memahami bagaimana meritokrasi dapat diterapkan dalam konteks politik, kita bisa melihat contoh dari negara lain yang telah berhasil melakukannya. 

Singapura, misalnya, sering disebut sebagai model sukses dalam menerapkan meritokrasi dalam birokrasi mereka. 

Berdasarkan studi dari Jurnal BKN, sejak 1971, Singapura telah menetapkan seleksi ketat berdasarkan kemampuan, integritas, dan kapabilitas individu. 

Proses ini berhasil mencegah korupsi dan nepotisme, sehingga menciptakan pemerintahan yang efisien dan minim penyalahgunaan kekuasaan.

Artikel dari Kumparan juga menggarisbawahi bagaimana Singapura menerapkan sistem meritokrasi dengan menempatkan pemimpin berdasarkan prestasi dan kemampuan melalui seleksi yang transparan. 

Contoh dari Singapura ini menunjukkan bahwa meritokrasi dapat membawa efisiensi dan stabilitas politik, asalkan diterapkan dengan benar dan konsisten.

Tantangan dan Peluang Meritokrasi di Indonesia

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa penerapan meritokrasi di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. 

Salah satunya adalah dominasi politik dinasti, yang membuat kompetisi sering kali tidak adil. 

Berdasarkan artikel di TIMES Indonesia, dominasi politik dinasti ini masih menjadi hambatan utama bagi meritokrasi. 

Dalam sistem politik kita, sering kali kekuasaan diwariskan dalam lingkup keluarga atau kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kompetensi atau kinerja individu tersebut.

Meski demikian, meritokrasi juga menawarkan peluang yang besar untuk reformasi politik di Indonesia. 

Menurut artikel di KPI IAIN Parepare, meritokrasi memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi di Indonesia dengan menempatkan orang-orang yang kompeten di posisi kepemimpinan. 

Hal ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas lembaga legislatif, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses politik.

Kesimpulan: Waktunya Meritokrasi?

Sudah saatnya kita mempertimbangkan meritokrasi sebagai model dalam pemilihan pemimpin MPR/DPR. 

Politik transaksional yang selama ini mendominasi hanya membawa dampak negatif terhadap efektivitas lembaga legislatif. 

Praktik kompromi politik membuat kita terjebak dalam siklus yang sama: kekuasaan yang diperjualbelikan, legislasi yang lemah, dan kepercayaan publik yang terus menurun.

Meritokrasi, meskipun penuh tantangan, menawarkan harapan baru untuk masa depan politik Indonesia. 

Dengan menempatkan kompetensi dan prestasi di atas kepentingan politik sempit, kita bisa mulai membangun sistem politik yang lebih adil, transparan, dan efektif. 

Akhirnya, keputusan ada di tangan para pemimpin partai politik di Indonesia, apakah kita ingin terus terjebak dalam politik transaksional atau memulai langkah menuju meritokrasi demi masa depan politik yang lebih baik.

Referensi:

  • Edunews.id. (n.d.). Meritokrasi sebagai paradigma baru dalam pemilihan umum: Mengatasi tantangan dinasti politik di Indonesia.
  • Journal Unpar. (n.d.). Tantangan penerapan analisis dampak dalam legislasi Indonesia.
  • Jurnal BKN. (n.d.). Meritokrasi di berbagai negara di dunia (perbandingan konstitusi).
  • Kumparan. (n.d.). Meneropong Indonesia dalam bingkai meritokrasi.
  • Tempo.co. (2022, February 23). Sejarah pemilu di Indonesia, dari masa parlementer, Orde Baru, reformasi.
  • TheJournalish. (n.d.). Analisis dampak sistem multipartai dalam implementasi sistem pemerintahan presidensil di era Jokowi-JK.
  • Tirto.id. (2019, September 24). Sejarah demokrasi parlementer di Indonesia dan kabinetnya.
  • TIMES Indonesia. (n.d.). Tantangan meritokrasi di tengah dominasi politik dinasti di Indonesia.
  • Hukumonline. (2018, July 15). Ini tiga sebab lemahnya kinerja legislasi DPR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun