Tahun demi tahun, praktik ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik kita.Â
Meski di satu sisi dianggap lumrah, di sisi lain, dampak jangka panjang dari politik transaksional ini merugikan, khususnya dalam hal efektivitas lembaga legislatif kita.Â
Sebagai bangsa yang terus berjuang untuk memperbaiki kualitas demokrasinya, pertanyaan yang patut kita renungkan bersama adalah: apakah kita harus terus meneruskan sistem ini, atau sudah saatnya kita mencoba pendekatan baru, yaitu meritokrasi?
Politik Transaksional: Sejarah yang Terus Berulang
Untuk memahami mengapa politik transaksional begitu melekat dalam pemilihan pimpinan MPR/DPR, kita harus melihat sejarahnya.Â
Menurut artikel di Tempo.co yang merangkum sejarah politik di Indonesia, praktik politik transaksional bukanlah hal baru.Â
Sejak masa Orde Baru, ketika kekuasaan terpusat pada Golkar dan sekutu-sekutunya, transaksi politik sudah menjadi cara efektif bagi partai untuk mendapatkan dukungan.Â
Pola ini berlanjut hingga era Reformasi, dengan berbagai partai politik melakukan lobi-lobi politik untuk memengaruhi keputusan strategis, termasuk pemilihan pimpinan MPR/DPR.
Tulisan lain dari Tirto.id menunjukkan bahwa praktik politik transaksional ini sudah berakar dalam sistem parlementer Indonesia.Â
Lobi politik, kesepakatan di balik layar, dan bahkan politik uang menjadi cara untuk memuluskan jalan dalam perebutan kursi pimpinan parlemen.Â
Dampaknya? Kredibilitas lembaga legislatif seringkali dipertaruhkan.Â