“Pertanyaan kampungan, Sam! Sekarang, mana cangkirmu? Lidahku sukar berucap jika jam segini belum tersiram kopi!” jawab Kun santai. Tangan besarnya meraih cangkir kopi. Aven kalah lagi. Sudah ratusan kali Kun memperkosa kopinya di depan dua matanya.
“Aku kira lambungmu sudah banjir kafein. Sekarang beri aku gambaran yang lebih masuk akal tentangnya. Tentang tempat itu! Ojok-ojok kon goroh?[3]” Aven terus mendesak.
“Begini, Sam. Mungkin orang ini bisa menolongmu,” kata Kun sambil menyerahkan sebuah nama yang ditulis di lembar kertas.
“Siapa lagi ini? Kamu jangan gila, Kun! Ini tempat asing, lo. Masak iya, aku harus menemukan orang ini dulu. Kamu gila!” seru Aven sedikit berteriak. Dua alisnya hampir saja bertemu. Kun tidak berekspresi.
“Terserah kamu. Aku tidak memaksamu. Semua kembali ke kamu. Tidur manis atau memecahkan misteri ini,” jawab Kun. Bahasa tegasnya mengintimidasi Aven. Detik itu juga, air muka Kun menggambarkan rasa puas yang sudah lama tersimpan. Aven hanya diam sambil memandangi nama di kertas itu.