“Aku titip kamar ini! Boleh dibuka. Tapi jangan sampai dibuat tidur. Kamu atau orang lain. Bahkan pacarmu, jangan!” katanya sambil bangkit dari duduknya. Kun hanya mengangguk kecil.
Aven berangkat mencari Bang Udin saat itu juga. Perjalanan memang panjang. Namun, main petak umpet dengan persepsi tidak akan pernah membuahkan hasil. Ia bertekad, langkah kakinya harus tetap tegak dan kuat. Ia berjanji, ia tidak akan kecewa. Apa pun hasilnya. Mencoba adalah jalan terbaik. Jalan orang-orang terberkati. Sejak dulu kala.
Misteri butuh lelaku[4], tidak hanya menguatkan jiwa, pemahaman mata dan reaksi rasa yang kemudian tercipta kenyataan. Sebab itu, Aven hanya berjalan dengan hasrat dan keyakinan. Berjalan dengan ribuan serbuk hitam yang biasa mereka sebut kopi. Tuhan bersama para penggila kopi, semboyan Aven menggema di palung hatinya. Begitu sejak dulu. Selalu.
Dalam perjalanan menuju tempat jauh; negeri antah-berantah, paling sulit dilakukan adalah memulai perjalanan itu. Benak dan pikiran hanya ada tanah yang begitu luas nan gersang. Tidak terlihat tanda-tanda keramaian, bahkan kehidupan. Sejauh mata memandang, semuanya hanya terlihat putih. Risiko yang paling mungkin ditemui nanti adalah serbuan kesepian panjang. Merayapi semua alur hidupnya. Seperti dulu. Saat semua merenggut kedua orang tuanya.
Aven merenung sejenak. Ia tidak akan tertawa lepas dalam waktu yang tak terprediksi. Semua serba buram; abu-abu. Seperti buramnya gambaran tempat yang menjadi tujuan perjalanannya.
Kun telah berhasil mengubah hidup Aven. Kun telah berhasil memancingnya masuk dalam lingkaran keabsurdan Bang Udin. Aven bisa saja kabur dari itu semua. Namun, waktu telah mendudukkannya di atas kursi bus yang akan mengantarkannya sampai ke Jombang.