PENDAHULUAN
Dalam tulisan ini akan diuraikan tinjauan teoritis mengenai etika manajemen. Penggunaan terminologi etika dan moral disepadankan dalam konteks yang sama, karena baik etika maupun moral berfokus pada pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak dan apa yang membuat suatu tindakan baik atau buruk.
Keduanya berhubungan dengan perilaku manusia dalam konteks kebaikan.
Sebagai pengantar, perlu ditegaskan bahwa masalah etika dalam bisnis melekat pada proses manajemen karena melibatkan perilaku manajerial yang dilakukan oleh manusia. Persoalan moral seperti dampak lingkungan, isu sosial, tuntutan konsumen, upah yang adil, eksploitasi tenaga kerja, hingga tanggung jawab kepada pemilik modal menjadi sekelumit masalah etis dalam praktik manajemen.
Tentu saja sekelumit masalah-masalah etis dalam manajemen ini akan berbalik menjadi ancaman (threat) terhadap pencapaian tujuan organisasi atau bisnis. Keputusan manajemen yang tidak etis dapat merusak reputasi, menyebabkan ketidakpuasan, protes, atau bahkan boikot dari para stakeholders.
Masalah etis dapat menciptakan ketidakstabilan organisasi atau bisnis. Praktik manajemen yang tidak etis juga dapat diperhadapkan pada tuntutan hukum, yang dapat merugikan secara finansial. Hingga menyebabkan penurunan nilai saham dan hilangnya kepercayaan investor.
Potensi risiko ini sulit dipulihkan dan berdampak negatif pada kinerja bisnis jangka panjang. Oleh karena itu, penting adanya etika dalam manajemen.
KONSEP DASAR ETIKA
Lebih dahulu, perlu dibatasi dan diperjelas makna konsep etika sehingga dapat dipahami dan digunakan dengan lebih tepat.
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos (dalam bentuk tunggal) dan ta etha (dalam bentuk jamak) yang berarti adat kebiasaan (Bertens, 2007, hal. 4). Kemudian, Rakhmat (2013, hal. 27) menjabarkan definisi etika dalam perspektif tersebut sebagai sistem nilai tentang bagaimana manusia harus “hidup baik sebagai manusia” yang telah di institusionalisasikan dalam sebuah kebiasaan.
Dalam konotasi sistem nilai yang membentuk kebiasaan, terdapat prinsip etis yang menjadi landasannya. Sebagai contoh, dalam hubungan majikan dan pekerja, terdapat prinsip yang disebut "keadilan" yang menjadi pegangan moral bersama. Di mana majikan selayaknya memberi upah yang adil, sebaliknya pekerja pun selayaknya mempersembahkan hasil kerja yang adil. Ini menjadi hal biasa dan dianggap baik sejak dulu.
Maka, berdasarkan definisi sebelumnya, kita dapat menilai bahwa perusahaan yang melakukan eksploitasi karyawan, dianggap tidak beretika. Karena, eksploitasi bertentangan dengan prinsip keadilan.
Prinsip etis yang disebut keadilan dalam contoh tersebut menjadi landasan sistem nilai dalam hubungan majikan dan pekerja.
Dalam contoh tadi, aktivitas pengeksplotasian manusia dianggap hanya memposisikan manusia sebagai "alat". Padahal menurut Hartman (1996, hal. 97), seseorang harus memperlakukan orang lain bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan.
Pernyataan Hartman (1996) ini mengandung konsep Imperatif Kategoris yang menyatakan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki martabat dan nilai intrinsik, dan tidak boleh dimanfaatkan hanya sebagai sarana untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Dengan kata lain, prinsip etis yang menjadi landasan sistem nilai dalam konteks etika, bersifat universal karena martabat manusia adalah konsep yang berlaku untuk semua individu, tanpa terkecuali.
Setiap orang memiliki nilai intrinsik sebagai manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan pribadi. Ini berlaku untuk semua individu, terlepas dari latar belakang sosial, budaya, atau konteksnya.
Tinjauan ini mengantarkan kita pada definisi yang lebih tajam, bahwa etika sebagai patron perilaku etis didasarkan pada prinsip yang bersifat universal.
Sehingga, ter-institusionalisasi-kan lah nilai-nilai ini dalam suatu "kebiasaan" sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Rakhmat (2013, hal. 27).
Prinsip universal dalam perspektif etis, menurut Hartman (1996, hal. 97) berkaitan dengan kesejahteraan, keadilan, dan hak asasi. Bukan saja Hartman (1996), ahli lainnya pun berpendapat bahwa apa yang disebut etika didasarkan pada prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan moral universal.
Weiss (2022, hal. 12) memandang bahwa etika melibatkan pemahaman mengenai pengambilan keputusan yang berprinsip untuk memilih tindakan yang tidak merugikan orang lain.
Sedangkan menurut Muhr, Bent dan Steen (2010, hal. 9) etika berkaitan dengan upaya untuk membangun serangkaian preskirpsi normatif yang sistematis tentang perilaku manusia guna mengatur moral dan moralitas sehari-hari.
Adapun Gibson (2023, hal. 7) mendefinisikan bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membahas masalah moralitas, di mana moralitas mencakup gagasan tentang baik dan buruk, keadilan, kesetaraan, benar dan salah, serta cara kita mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai.
Dalam perspektif etika normatif, etika sebagai sistem nilai melibatkan diri dalam menilai perilaku manusia, tidak sebatas melukiskan norma-norma etis (berbeda dengan etika deskriptif).
Etika menjadi penentu baik/buruk suatu perbuatan atau anggapan moral.
Termasuk dalam contoh sebelumnya, menentukan apakah eksploitasi karyawan itu baik atau buruk.
Suatu sistem nilai bagaimanapun merupakan bagian suatu kebudayaan, tidak terkecuali agama. Bertens (2007, hal. 35- 40) mengemukakan bahwa agama mempunyai hubungan erat dengan moral.
Motivasi terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Cara bagaimana harus hidup ditentukan berdasarkan keyakinan keagamaan. Keyakinan beragama mengarahkan pemikiran tentang hal-hal etis.
Namun demikian, nilai-nilai moral tidak secara eksklusif diterima karena alasan keagamaan. Alasan lain yaitu alasan rasional. Justru diusahakan untuk menggali alasan rasional di dalam pegangan perilaku moral, sehingga norma moral pun ikut diterima. Kesalahan moral, seperti masalah etika bisnis adalah pelanggaran prinsip etis, dan menjadi "inkonsekuensi rasional". Menurut Brandt (1959, hal. 19-26), pengujian yang paling penting dalam menguji benar tidaknya norma moral yaitu dengan "generalisasi norma".
Generalisasi norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang. Misalnya, sadar atau tidak, seorang pencuri sebenarnya berpegang pada norma “saya ambil apa yang saya sukai”. Norma ini jelas tidak dapat digeneralisasikan. Pasti si pencuri sendiri berkeberatan bila barangnya seenaknya diambil orang lain. Atau tentu saja seorang majikan tidak ingin dieksploitasi apabila ia menjadi pekerja, sebagaimana ia mengeksploitasi pekerjanya sewaktu menjadi majikan. Nampak "inkonsekuensi rasional".
Generalisasi norma ini sebagai konsekuensi dari inti etika itu sendiri. Manusia memerlukan norma etis karena secara spontan, cenderung mengejar kepentingan ego.
Generalisasi norma menjadi dasar bagi apa yang dalam etika dikenal sebagai the golden rule atau kaidah emas, yang dirumuskan sebagai berikut: “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”(Bertens, 2007, hal. 169). Prinsip yang tidak dapat digeneralisasi di balik suatu perbuatan, misalnya mencuri, tidak dapat diterima sebagai norma moral yang sah. Karena pada prinsipnya yaitu “dalam tingkah laku, saya harus pakai norma ini, sebab saya juga mau bahwa orang lain memakai norma yang sama terhadap saya.”
Dalam filsafat moral, ini disebut sebagai hukum umum. Dengan prinsip ini, norma moral menjadi tahan uji.
TINJAUAN ETIS DALAM ILMU MANAJEMEN
Uraian konsep dasar etika—walaupun terbatas—perlu penulis sajikan di awal, sebelum mengulik etika dalam manajemen. Alasannya yaitu agar memberikan landasan pemahaman bersama tentang prinsip yang mendasari pemikiran etis.
Ini penting untuk menciptakan kerangka berpikir yang konsisten dan saling dipahami ketika diterapkan dalam konteks manajemen.
Dengan demikian, etika dalam manajemen merupakan pegangan moral, baik dalam proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pengendalian.
Perilaku dan keputusan manajemen dalam mengelola orang, uang dan sumber daya lainnya untuk mencapai efisiensi dan efektivitas didasarkan pada prinsip etis di segala spesifikasi bidangnya, seperti sumber daya manusia, keuangan, pemasaran atau operasional.
Etika memberi norma pada praktik tersebut. Etika dalam manajemen patut dilakukan atas dasar kewajiban karena nilai moral yang dipraktikkan memuat unsur imperatif kategoris. Bukan semata-mata ketakutan terhadap efek samping bila tidak berperilaku etis.
Pada gilirannya, perilaku etis menghadirkan a clear conscience yang timbul pada hati nurani para manajer. Ini merupakan konsekuensi adanya eudaimonia (kebahagiaan) yang diperoleh dari keutamaan moral.
Kebahagiaan bukan saja “kesenangan” karena tercapainya nilai ekonomi. Melainkan secara obyektif, melibatkan kebahagiaan seluruh pihak yang terlibat dalam pencapaian nilai ekonomi tersebut.
Pernyataan ini menghubungkan konsep perilaku etis dengan kebahagiaan batin yang mendalam (eudaimonia) dalam konteks manajemen.
A clear conscience (hati nurani yang bersih) menjadi hasil dari tindakan etis yang dilakukan oleh para manajer, yang pada gilirannya memupuk rasa kebahagiaan melalui keutamaan moral.
Eudaimonia sendiri adalah konsep kebahagiaan sejati yang dicapai bukan dari kenikmatan sesaat, melainkan dari kehidupan yang penuh dengan kebajikan dan kebaikan moral.
Dalam konteks ini, perilaku etis bukan hanya bermanfaat bagi perusahaan atau lingkungan sosial, tetapi juga memberikan kesejahteraan batin bagi individu yang mempraktikkannya, yaitu para manajer.
Dalam perspektif utilitarianisme John Stuart Mill (1806-1873), kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain.
Tidak hanya milik manajemen (sebagai agent) atau bersama pemilik modal (sebagai principal). Tetapi juga, kebahagiaan itu tersalurkan secara luas dengan memaksimumkan nilai yang diberikan kepada karyawan, masyarakat (socials), lingkungan hidup (environments) dan stakeholders lainnya.
Dengan demikian, tindakan manajemen yang etis harus memperhitungkan dampak keputusan mereka terhadap semua stakeholders, sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan menyebar ke seluruh elemen dalam organisasi dan masyarakat luas.
Ini sejalan dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), di mana perusahaan berperan penting dalam menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, serta tidak hanya terfokus pada keuntungan finansial.
Etika dalam manajemen mengusahakan suatu pandangan yang obyektif, yang bisa diterima oleh seluruh stakeholders.
Pertimbangan dan keputusan moral yang dilandasi oleh etika manajemen bertolak pada anggapan-anggapan yang bisa dipertanggung jawabkan secara rasional.
Karena etika dalam manajemen juga memiliki pretensi rasional, maka banyak uraian logis mengangkat pertimbangan dan keputusan moral manajerial dari taraf subyektif serta emosional ke taraf obyektif dan rasional.
Di antaranya yang bisa disebutkan di sini, yaitu Gibson (2023) dengan pemikirannya mengenai prinsip etis dalam bisnis; Weiss (2022) dengan ulasannya mengenai pendekatan stakeholders; Torelli (2020) yang memadukan secara kritis konsep keberlanjutan, tanggung jawab dan etika untuk memahami bagaimana perusahaan bergerak; Werhane dan Freeman (1999) melalui esainya mengenai etika bisnis; terakhir, Hartman (1996) yang kini dikenal dengan gagasannya mengenai stakeholders case theory pada organisasi.
Secara umum, para ahli menganggap bahwa manajemen tanpa etika dapat membawa masalah yang serius pada organisasi dan para stakeholders. Dengan memprioritaskan etika dalam manajemen, organisasi dapat mengurangi risiko kumulatif karena efek samping perilaku tidak etis.
Dengan memprioritaskan etika dalam setiap aspek manajemen, organisasi dapat mengurangi risiko kerugian finansial, hilangnya kepercayaan, dan reputasi yang buruk. Dampak kumulatif dari perilaku tersebut bisa mempengaruhi kinerja jangka panjang perusahaan serta relasinya dengan para stakeholders.
Etika yang diterapkan secara konsisten tidak hanya melindungi perusahaan dari konsekuensi hukum dan reputasi yang negatif, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang sehat dan transparan.
Ini memberikan rasa aman bagi para karyawan, meningkatkan loyalitas konsumen, dan memperkuat hubungan dengan komunitas serta lingkungan.
Lebih jauh lagi, integritas etis dalam manajemen menjadi dasar bagi pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Ketika sebuah organisasi menempatkan etika di garis depan, itu tidak hanya akan menghasilkan keuntungan jangka pendek, tetapi juga membuka jalan untuk kesuksesan jangka panjang dengan menjaga kepercayaan dari semua stakeholders.
Ini membuat perusahaan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan serta lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan bisnis dan sosial.
Dalam teori Ketergantungan Sumber Daya (Resource Dependence Theory) yang dikemukakan oleh Jeffrey Pfeffer dan Gerald Salancik, organisasi sangat bergantung pada lingkungan eksternal karena lingkungan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Karena itu, organisasi harus berinteraksi secara strategis dengan lingkungannya untuk mengakses dan mengamankan sumber daya tersebut.
Bisnis tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternalnya, dan keberhasilan bisnis sangat tergantung pada kemampuan adaptasinya terhadap faktor-faktor eksternal, termasuk relasi yang dibangun bersama stakeholders melalui etika yang baik.
PENUTUP
Sebagai penutup, etika dalam manajemen didasarkan pada nilai-nilai moral yang universal, seperti keadilan.
Karena dimensi normatif, maka manajemen dianalogikan sebagai “orang yang bermoral” beserta konsekuensi yang mengikutinya. Manajer yang beretika ialah bermartabat.
Etika dalam manajemen sebenarnya dapat digali melalui stakeholder theory atau pada konsep triple bottom line yang dipopulerkan oleh Elkington (1998). Etika dalam manajemen melibatkan perilaku bertanggung jawab yang tidak dibatasi hanya pada profit-oriented, tetapi juga dimensi sosial dan lingkungan hidup.
Etika manajemen memprioritaskan keseimbangan antara keuntungan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan
REFERENSI:
- Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Brandt, R.B. (1959). Ethical Theory: The Problems of Normative and Critical Ethics. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
- Elkington, J. (1984). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century business. Pulau Gabriola: New Society Publishers.
- Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Massachusetts: Pitman Publishing.
- Hartman, E. (1996). Organizational Ethics and the Good Life. New York: Oxford University Press.
- Gibson, K. (2023). Ethics and Business: An Introduction (2nd Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
- Muhr, S.L., Bent M.S., dan Steen V. (2010). Ethics and Organizational Practice Questioning the Moral Foundations of Management. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited.
- Rakhmat, A. (2013). Etika Profesi: Etika dasar setiap profesi kehidupan dalam perspektif hukum positif. Bandung: Tim Kreatif.
- Weiss, J.W. (2022). Business ethics: A stakeholder and issues Management approach (7th Ed.). Oakland: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
- Werhane, P.H., dan Freeman, R.E. (1999). Business ethics: the state of the art. International Journal of Management Reviews, 1(1), 1-16. DOI: 10.1111/1468-2370.00002
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H