Sedangkan menurut Muhr, Bent dan Steen (2010, hal. 9) etika berkaitan dengan upaya untuk membangun serangkaian preskirpsi normatif yang sistematis tentang perilaku manusia guna mengatur moral dan moralitas sehari-hari.
Adapun Gibson (2023, hal. 7) mendefinisikan bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membahas masalah moralitas, di mana moralitas mencakup gagasan tentang baik dan buruk, keadilan, kesetaraan, benar dan salah, serta cara kita mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai.
Dalam perspektif etika normatif, etika sebagai sistem nilai melibatkan diri dalam menilai perilaku manusia, tidak sebatas melukiskan norma-norma etis (berbeda dengan etika deskriptif).
Etika menjadi penentu baik/buruk suatu perbuatan atau anggapan moral.
Termasuk dalam contoh sebelumnya, menentukan apakah eksploitasi karyawan itu baik atau buruk.
Suatu sistem nilai bagaimanapun merupakan bagian suatu kebudayaan, tidak terkecuali agama. Bertens (2007, hal. 35- 40) mengemukakan bahwa agama mempunyai hubungan erat dengan moral.
Motivasi terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Cara bagaimana harus hidup ditentukan berdasarkan keyakinan keagamaan. Keyakinan beragama mengarahkan pemikiran tentang hal-hal etis.
Namun demikian, nilai-nilai moral tidak secara eksklusif diterima karena alasan keagamaan. Alasan lain yaitu alasan rasional. Justru diusahakan untuk menggali alasan rasional di dalam pegangan perilaku moral, sehingga norma moral pun ikut diterima. Kesalahan moral, seperti masalah etika bisnis adalah pelanggaran prinsip etis, dan menjadi "inkonsekuensi rasional". Menurut Brandt (1959, hal. 19-26), pengujian yang paling penting dalam menguji benar tidaknya norma moral yaitu dengan "generalisasi norma".
Generalisasi norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang. Misalnya, sadar atau tidak, seorang pencuri sebenarnya berpegang pada norma “saya ambil apa yang saya sukai”. Norma ini jelas tidak dapat digeneralisasikan. Pasti si pencuri sendiri berkeberatan bila barangnya seenaknya diambil orang lain. Atau tentu saja seorang majikan tidak ingin dieksploitasi apabila ia menjadi pekerja, sebagaimana ia mengeksploitasi pekerjanya sewaktu menjadi majikan. Nampak "inkonsekuensi rasional".
Generalisasi norma ini sebagai konsekuensi dari inti etika itu sendiri. Manusia memerlukan norma etis karena secara spontan, cenderung mengejar kepentingan ego.
Generalisasi norma menjadi dasar bagi apa yang dalam etika dikenal sebagai the golden rule atau kaidah emas, yang dirumuskan sebagai berikut: “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”(Bertens, 2007, hal. 169). Prinsip yang tidak dapat digeneralisasi di balik suatu perbuatan, misalnya mencuri, tidak dapat diterima sebagai norma moral yang sah. Karena pada prinsipnya yaitu “dalam tingkah laku, saya harus pakai norma ini, sebab saya juga mau bahwa orang lain memakai norma yang sama terhadap saya.”